Menyambut Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni, Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada mengadakan acara Pembukaan Bulan Pancasila dan Pagelaran Wayang Kulit pada Sabtu (10/6). Acara ini berlangsung secara luring dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube Pusat Studi Pancasila.
“Universitas sebagai lembaga tidak boleh terlalu dekat dan terlalu jauh dengan penguasa. Jika terlalu dekat, maka dikhawatirkan dapat terjadi bias dan merugikan masyarakat. Namun jika terlalu jauh, universitas juga akan sulit untuk bertahan,” ungkap Drs. Agus Wahyudi, M.Si., MA., Ph.D selaku Kepala Pusat Studi Pancasila. Ia menyampaikan latar belakang pagelaran ini dengan beberapa kalimat pembuka. “Apakah unit seperti Pusat Studi Pancasila dapat bertahan dalam netralitasnya? Jawabannya adalah iya. Akademisi memang tidak seharusnya bersikap netral, namun lembaga dapat memosisikan diri sebagai unit netral dalam kondisi politik terkini,” tambahnya.
Unit Pusat Studi Pancasila dibentuk berdasarkan urgensi akan pesatnya perkembangan zaman yang dikhawatirkan memicu pudarnya nilai-nilai luhur kebangsaan, seperti Pancasila. Melalui unit ini, keberadaan Pancasila akan terus dikaji dan disesuaikan dengan laju perkembangan zaman agar tetap berdiri kokoh dan senantiasa menjadi pedoman bangsa. “Kami sebagai unit Pusat Studi Pancasila berkomitmen untuk membantu menjaga keutuhan NKRI melalui kajian nilai-nilai Pancasila dan budi daya kultural Indonesia,” Ucap Agus.
Pagelaran wayang kulit berjudul “Babad Alas Mertani: Berdirinya Negara Indraprastha/Amarta” dibawakan secara apik oleh Ki Catur Benyek Kuncoro. Dalang Ki Catur banyak dikenal karena penyampaian kritis, inovatif, dan humorisnya dalam cerita-cerita wayang kulit. Pun dengan panggungnya kali ini, Ki Catur membawakan kisah mengenai sejarah berdirinya kerajaan Indraprastha yang dipimpin oleh Panca Pandawa.
Kisah wayang kulit tersebut memiliki makna tersirat akan bagaimana kita harus mengingat proses berdirinya NKRI tidaklah mudah. Perumusan Pancasila sebagai dasar negara juga menjadi persoalan panjang yang melibatkan banyak pihak. Tanpa adanya NKRI, Indonesia mungkin masih berbentuk kerajaan-kerajaan regional yang berusaha menguasai satu sama lain. Karena itu, nilai kebersamaan dan persatuan menjadi titik utama dalam membangun sebuah negara yang berdaulat.
“Kalau kita bicara tentang nilai gotong-royong, saya kira antara ada dan tiada. Kemarin saat pandemi, semuanya terlihat gotong-royong. Inilah yang seharusnya dipertahankan. Nilai kegotong-royongan dalam Pancasila telah menemani kita sepanjang sejarah untuk terus memperkuat NKRI,” ucap Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si selaku Perwakilan Senat Akademik.
Penulis: Tasya