Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga (Budparpora) Kabupaten Barito Timur menyusun dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). Dokumen resmi daerah ini memuat kondisi faktual dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pemajuan kebudayaan di Kabupaten Barito Timur. Didalamnya disertakan beberapa rekomendasi, tahapan kerja dan indikator capaian.
Bertha, SE., MM, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Budparpora mewakili Bupati Barito Timur mengatakan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) ini dinilai sebagai basis pembentukan landasan kebijakan dan hukum untuk pelestarian warisan budaya daerah. Meskipun proses penyusunan PPKD berlangsung dalam jangka waktu relatif pendek namun tetap optimal dan berjalan sesuai yang diamanatkan regulasi. Penentuan tim penyusun, disebutnya, dipilih berdasarkan keahlian, serta memiliki keperdulian tentang kebudayaan. Berdasarkan SK Bupati Barito Timur Nomor 180/331/HUK/2025 tentang Tim dan Narasumber Kegiatan Penyusunan PPKD telah ditetapkan 7 (tujuh) Tim Penyusun, 6 (enam) Sekretariat Tim, dan 24 Narasumber yang terdiri dari Damang setiap kecamatan, mantir, budayawan, dan perwakilan ormas.
Dalam praktik, kata Bertha, proses pendataan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dijalankan dengan pengisian borang terhadap kondisi terkini & perkembangannya 11 OPK pada 10 kecamatan. Tim pengumpul data terjun ke lapangan dan melakukan wawancara. “Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap, seperti koordinasi dan sosialisasi cara pengisian borang, kegiatan survei lapangan dengan mengunjungi objek OPK dan interview para Damang dan tokoh budaya, serta mengolah dan analisis data lapangan,” ungkapnya, Kamis (18/12) saat berlangsung ekspose akhir Penyusunan PPKD di Kantor Bupati Barito Timur.
Kegiatan ekspose akhir ini dihadiri 10 Damang Kepala Adat dan Mantir mewakili sepuluh kecamatan, yaitu Damang Pematang Karau, Dusun Tengah, Paku, Karusen Janang, Paju Epat, Dusun Timur, Benua Lima, Awang, Raren Batuah, dan Damang Patangkep Tutui. Selain itu, hadir pula wakil dari Budayawan, Komite Seni Budaya Nusantara Bartim, DKD, KNPI, Forum Pemuda Dayak, Gerdayak, Batamad Bartim, Karang Taruna dan Tim Penyusun. Dari Puspar UGM hadir Dr. Destha T. Raharjana, S. Sos., M.Si., dan Wijaya, S. Hut., M.Sc.
Destha Titi Raharjana, selaku tim perumus menjelaskan sedikitnya terdapat 120 unsur budaya meliputi 11 OPK di Kabupaten Barito Timur terdiri 2 macam Manuskrip, 11 macam Tradisi Lisan, 17 macam Adat Istiadat, 20 Ritus, 7 macam Pengetahuan Tradisional, 15 unsur Teknologi Tradisional, 12 macam Seni, 8 macam Bahasa, 4 Permainan Rakyat, 8 Olahraga Tradisional, dan 20 situs/bangunan cagar budaya. Kondisi 11 OPK tersebut secara umum dinilainya dalam kondisi yang beragam. “Sebagian terpelihara, kurang terpelihara dan sebagian besar tidak terpelihara. Pada OPK manuskrip, di lapangan ditemukan kesulitan melacak keberadaannya mengingat status kepemilikan manuskrip bersifat pribadi. Objek manuskrip ini hanya diwariskan secara turun temurun sehingga hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Begitu pula dengan objek ritus yang tidak bisa di dokumentasikan karena dianggap sacral,” ucap Desta.
Temuan lain memperlihatkan disetiap OPK memiliki permasalahan yang serupa, antara lain ancaman modernitas seiring dengan derasnya globalisasi berdampak minimnya minat generasi muda mempelajarinya. Masih banyak masyarakat kurang paham untuk menjaga dan memelihara, dan minimnya dokumentasi berbasis digital dalam upaya perlindungan, kerusakan fisik, minim perawatan dan pengamanan OPK. Untuk kasus OPK seni ditemukan persoalan belum adanya basis data tunggal (database) berisi inventarisasi data sanggar, komunitas, karya, sarana dan prasarana. “Selain itu, belum maksimalnya dukungan regulasi untuk perlindungan dan pelestarian adat istiadat. Belum lagi adanya keterbatasan dukungan pendanaan untuk pelaksanaan program,” paparnya.
Tim perumus lainnya, Wijaya menambahkan 11 OPK di Barito Timur memiliki posisi yang unik. Mereka masih eksis dan berkembang dengan keterbatasannya, dan beberapa belum mendapat perhatian karena berbagai persoalan, seperti lingkungan sosial, keterbatasan SDM pelaku dan regenerasi, dukungan anggaran, tatakelola, dan basis data digital. Karena itu, guna mengatasi tantangan tersebut diperlukan langkah strategis krusial yang berfokus pada perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Diantaranya memanfaatkan teknologi dengan melakukan pendataan melalui web/aplikasi sederhana yang berisi basis data lengkap berupa video, foto, filosofi, maupun cerita di balik setiap objek budaya, karya seni, sehingga warisan budaya dapat dengan mudah diakses oleh publik luas. Untuk menarik minat generasi muda maka perlu mengadakan kompetisi pembuatan konten budaya kreatif di medsos, seraya bekerja sama dengan influencer atau ‘duta budaya’ lokal untuk mempromosikan seni dan budaya daerah melalui platform yang mereka kuasai.
Wijaya pun menyebut perlu mendorong Pemerintah Kabupaten Barito Timur menyusun regulasi Perda tentang pelestarian adat istiadat dan budaya di tingkat desa/kelurahan. Bahkan dalam praktiknya, perlu diselenggarakan pelatihan pendokumentasian, pendanaan mandiri, dan pelibatan generasi muda, termasuk objek seni dalam mengadakan pelatihan berjenjang bagi pelatih dan pengelola sanggar secara berkelanjutan demi pemajuan dan standardisasi seni budaya, sekaligus untuk menciptakan sumber pendanaan yang berkelanjutan. Semua bisa dilakukan dengan pembuatan cinderamata atau kerja sama dengan pembuat cinderamata lokal, yang mana sebagian keuntungan dari penjualan produk tersebut dialokasikan secara transparan untuk pengembangan dan pembinaan objek kebudayaan. “Saya kira integrasi nilai-nilai budaya dalam pendidikan terkait muatan lokal perlu disampaikan mulai dari Tingkat PAUD hingga sekolah menengah atas dan memanfaatkan teknologi digital untuk pelestarian budaya,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Puspar UGM
