Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM menyampaikan paparan terkait penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (Ripparda) Kabupaten Murung Raya tahap 1. Paparan disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD) Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahap I Pemerintah Kabupaten Murung Raya Tahun 2023 yang diselenggarakan Dinas Kepemudaan, Olah Raga dan Pariwisata (DKOP) Kabupaten Murung Raya.
FGD Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahap I Pemerintah Kabupaten Murung Raya Tahun 2023 merupakan wujud realisasi dari kegiatan kerja sama antara Universitas Gadjah Mada dengan Pemkab Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan di Kantor Pemerintah Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah dan dibuka Sri Karyawati, SP., M.Si, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata, Rabu (6/12).
Sri Karyawati mewakili Bupati Murung Raya menyampaikan apresiasi atas peran Puspar UGM dalam upaya mengembangkan sektor pariwisata di daerah Murung Raya. Dia menyampaikan terdapat permasalahan mendasar yang dinilai krusial dalam upaya pengembangan sektor kepariwisataan di Murung Raya.
Pertama, terbatasnya kesadaran masyarakat utamanya terkait dengan pentingnya kebersihan lingkungan. Pemerintah Kabupaten Mura mengakui masih melihat rendahnya kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah, baik di lingkungan sekitar rumah ataupun di ruang publik, termasuk di lokasi wisata.
“Kebersihan tentunya menjadi kunci mewujudkan pariwisata berkelanjutan dan berkualitas. Ini tidak mudah dan banyak tantangan serta hambatan, khususnya dalam hal menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mencintai alam dan lingkungan,” ujarnya.
Kedua, keseriusan pemerintah daerah dalam memberikan prioritas. Belum optimalnya supporting anggaran untuk membangun sektor pariwisata perlu menjadi perhatian. Sri Karyawati sangat mengharapkan Pemerintah Kabupaten Murung Raya memiliki konsep dan visi dalam upaya mengembangkan sektor pariwisata di Bumi Tana Malai Tolung Lingu.
“Ini sangat kita harapkan mengingat daerah ini menyimpan banyak potensi yang berpeluang menghasilkan pendapatan daerah dan mampu mensejahterakan masyarakat sekitar objek,” ucapnya.
Pada seminar ini, Tim Ahli Puspar UGM menghadirkan dua pembicara yaitu Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos, M.Si., dan Wijaya, S. Hut., M.Sc. Acara inipun dihadiri sekitar 40 orang berasal dari pimpinan OPD (Dinas PUPR, Diskominfo, Dinas KOP, Disdikbud, Diskopukmperindag, DKP, DLH, Dishub, BPBD, dan Inspektorat), para Camat, Pokdarwis, pelaku seni dan ekraf, serta perwakilan pengelola akomodasi.
Sebagai Ketua Tim Kajian, Destha Titi Raharjana menjelaskan Kabupaten Murung Raya memiliki keragaman ekosistem terdiri atas dataran pegunungan Muller sebagai warisan dunia di Jantung Kalimantan (Heart of Borneo), dataran rendah, dan ekosistem sungai. Hasil kajian sementara Puspar UGM memperlihatkan karakter wisata yang ditemukan di Murung Raya lebih menonjolkan pada tema wisata alam, ecotourism didukung dengan kegiatan wisata budaya dan ekonomi kreatif.
Ketiganya, disebutnya, menjadi penguat ikon pariwisata Murung Raya. Berpijak atas tema di atas, Pemerintah Murung Raya percaya pembangunan sektor kepariwisataan sejalan dengan tujuan SDG’s, di antaranya mendorong pertumbuhan ekonomi (8), mengurangi angka kemiskinan (1), adanya praktik ekowisata mampu menekan ancaman perubahan iklim (13), sekaligus perlu didorong kemitraan antar pemangku kepentingan (17) untuk mewujudkan daya saing destinasi pariwisata Murung Raya yang kuat.
“Pemahaman terhadap produk knowledge sangat dibutuhkan agar pengelola wisata dapat menetapkan jenis kegiatan yang dikemas dalam paket wisata,” paparnya.
Destha memandang perlu adanya upaya untuk mengenalkan secara masif potensi wisata dan ekraf di wilayah ini. Informasi kepariwisataan Murung Raya hingga saat ini masih terbatas.
Menurutnya perlu dilakukan updating informasi yang tertera di website Kabupaten Murung Raya. Meski pergerakan wisata di Murung Raya sudah berjalan, sayangnya belum seperti yang diharapkan.
“Masih banyak kendala ditemui dalam upaya pengembangan daya tarik wisata dan masih minimnya dukungan fasilitas yang dibutuhkan para wisatawan,” terangnya.
Destha berpendapat pentingnya pemanfaatan media internet sebagai salah satu alat untuk mendukung pemasaran pariwisata. Menurutnya, perlu pelibatan tim SDM bidang IT agar semua informasi mampu berfungsi dengan optimal sekaligus mampu mengerjakan dan menyajikan berbagai informasi terbaru seputar potensi kepariwisataan dan ekraf di Murung Raya.
“Ini tentunya bisa sangat bermanfaat, agar pihak-pihak yang tertarik ke Murung Raya dapat mempelajari secara lebih memadai,” harapnya.
Peneliti Puspar lainnya, Wijaya, memaparkan Murung Raya memiliki 84 daya tarik wisata (DTW) yang tersebar di 10 kecamatan. Tanah Siang sebagai kecamatan yang memilik DTW paling banyak, yaitu 20 DTW (24 persen), sementara Kecamatan Murung 18 DTW (22 persen), Tanah Siang Selatan 10 DTW (12 persen), dan Barito Tuhup Raya sebagai kecamatan paling sedikit, yaitu 2 DTW (2 persen).
Disebutkan pula dari total 84 daya tarik wisata, sebanyak 51 objek (61 persen) berupa jenis alam, sedangkan sebanyak 26 objek (31 persen) merupakan daya tarik wisata budaya dan 7 objek (8 persen) sebagai daya tarik wisata buatan. Dari keseluruhan 84 daya tarik wisata terdapat beberapa daya tarik wisata unggulan, diantaranya Air Terjun Sanggrahan Liang Pandan, Taman Kota Pasir Putih, Taman Sapan & Jembatan Merdeka Sungai Barito, Pasir Putih Bukit Tengkorak, dan Tugu Ekuator.
“Dari sisi fasilitas kepariwisataan Murung Raya terus berbenah dengan tersedianya 27 unit hotel dengan jumlah kamar 382 unit dan 511 tempat tidur,” sebutnya.
Idontori, S.E., M.Si selaku pelaku seni budaya Dayak yang turut hadir sebagai narasumber menyoroti adanya keragaman budaya di Kabupaten Murung Raya. Tercatat di Murung Raya dihuni mayoritas 6 suku bangsa asli, yaitu sub suku Dayak Siang, Siang Murung, rumpun Dayak Ot Danum, Dayak Punan Kereho dan Dayak Bakumpai.
Setiap suku ini, dia sampaikan memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dengan segala unsurnya tentu menarik untuk dikemas dan dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya. Hanya saja pengembangan budaya sebagai atraksi wisata, dinilainya, tidak mudah dan banyak tantangan serta hambatan.
Hambatan tersebut diantaranya rendahnya kesadaran masyarakat khususnya remaja untuk mencintai dan mengembangkan budaya lokal di tengah gempuran budaya luar yang masif. Selain itu, minimnya fasilitasi tempat dan alat-alat pementasan di sanggar-sanggar budaya menjadi kendala bagi pengelola seni.
“Keberadaan sanggar-sanggar budaya beserta fasilitasnya tentu sangat diperlukan kedepan agar menarik anak-anak muda untuk datang latihan pementasan. Saat ini kami mengelola sanggar olah seni Sangiang Bohombit yang menampung anak-anak muda untuk belajar menari tradisional Dayak dan secara perlahan mulai menumbuhkan minat untuk mencintai kesenian lokal,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho