
Kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kontra dari berbagai kalangan. Pasalnya kenaikan penghasilan anggota wakil rakyat ini dinilai tidak menunjukkan rasa empati pada menurunya kondisi ekonomi masyarakat yang ditandai lesunya daya beli dan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana. Alhasil, berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan massa di depan gedung DPR belakangan ini.
Munculnya aksi protes dari masyarakat ini menurut Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Nurhadi, Ph.D., dikarenakan kebijakan kenaikan tunjangan anggota dewan tersebut selain gagal secara substantif, kebijakan ini pun gagal dalam penerimaan publik. “Kebijakan ini tidak memiliki empati atau kepekaan sosial terhadap kondisi rakyat, kurangnya sense of crisis, kurangnya kapasitas DPR dalam merumuskan masalah dan kebijakan, serta buruknya komunikasi pada publik,” kata Nurhadi, kamis (28/8).
Kebijakan menaikkan tunjangan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit ini menurut hemat Nurhadi menunjukkan kurangnya empati atau kepekaan sosial para anggota dewan. Pasalnya, kebijakan ini disusun ketika kondisi ekonomi masyarakat kita itu sedang tidak baik-baik saja.
“Kondisi rakyat belum pulih sepenuhnya dari guncangan ekonomi pasca Covid-19 yang menyisakan ribuan PHK dan juga usaha-usaha yang terdampak. Belum lagi para pengangguran dari para lulusan muda,” katanya.
Ia pun menilai dengan anggota DPR menaikkan penghasilan bulanannya justru mempertebal kesenjangan sosial yang ada di antara para dewan dan rakyat kecil. Nurhadi membandingkan total pendapatan anggota DPR setara dengan ratusan ribu gaji guru honorer. “Jadi ini kan satu kesenjangan yang sangat tinggi,”imbuhnya.
Kebijakan kenaikan penghasilan tunjangan yang dilakukan di tengah keadaan fiskal negara yang sedang tidak baik ini, menurut Nurhadi sangatlah tidak tepat apalagi pemerintah juga melakukan banyak efisiensi.
Selain itu, ia juga menyoroti soal kurangnya kapasitas para anggota dewan dalam merumuskan kebijakan. Para anggota DPR dianggap gagal dalam menerapkan prinsip keadilan dalam menelurkan kebijakannya kali ini. Nurhadi menjelaskan bahwa dalam Prinsip Keadilan oleh John Rawls, ada yang namanya difference principle. Artinya, kebijakan boleh memberikan perbedaan perlakuan pada sekelompok orang, namun perbedaan ini harusnya dinikmati hanya oleh orang-orang yang kurang beruntung, dalam konteks ini seharusnya warga miskin.
Lebih lanjut, dalam prinsip utilitarianisme pun disebutkan bahwa kebijakan seharusnya bermanfaat kepada banyak orang. “Prinsipnya kan the greatest happiness of the greatest number. Jadi, kalau kita menyusun satu policy itu mestinya membuat banyak orang bisa sangat bahagia. Ini kan sebaliknya ya, yang menikmati itu hanya lima ratusan orang,” ungkapnya.
Berkaca dari kebijakan kontroversial ini, Nurhadi pun menyarankan para anggota DPR untuk meningkatkan komunikasi publik mereka. Sedangkan untuk kelompok masyarakat sipil, Nurhadi meminta mereka untuk tetap melakukan kontrol sosial terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro pada kesejahteraan rakyat. “Demo yang dilakukan justru menunjukkan bahwa saat ini masyarakat masih mau bersuara dan suara mereka masih didengar,” pungkasnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik