Situasi kebencanaan di sejumlah wilayah kembali memperlihatkan tingginya risiko kekerasan seksual terhadap perempuan di lokasi pengungsian. Pasalnya perempuan, anak-anak, dan lansia merupakan kelompok yang paling rentan dalam kondisi darurat, dan risiko non-fisik seperti kekerasan seksual sering kali tidak masuk dalam prioritas penanganan bencana. Sebaliknya, fokus pemerintah dan relawan selama ini masih terpusat pada aspek pemulihan fisik seperti logistik, evakuasi, dan infrastruktur, sehingga ancaman kekerasan berbasis gender tidak terantisipasi dengan baik.
“Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan selama situasi bencana merupakan bukti nyata bahwa risiko non-fisik masih sangat mudah luput dari perhatian. Respons bencana harus lebih sensitif gender karena perempuan menghadapi beban berlapis, baik akibat struktur sosial patriarkis maupun kondisi ruang pengungsian yang tidak aman,” kata akademisi pemerhati gender dari Sekolah Pascasarjana UGM, Ratna Noviani, Ph.D., Jumat (12/12).
Ratna mengatakan tantangan terbesar dalam melindungi perempuan di lokasi pengungsian adalah masih minimnya perspektif gender dalam kebijakan penanggulangan bencana. Menurutnya, aparat dan relawan sering kali sangat fokus pada kebutuhan dasar pengungsi, sehingga isu kekerasan seksual dianggap bukan prioritas. Padahal, dalam situasi rentan, risikonya justru meningkat. “Kita memerlukan mekanisme respons bencana yang sejak awal memasukkan analisis gender. Bahkan dalam kondisi darurat, ruang pengungsian tetap harus mempertimbangkan aspek keamanan berbasis gender, termasuk sanitasi terpisah dan area yang menjaga privasi perempuan,” jelasnya.
Selain itu, layanan pelaporan dan pendampingan bagi korban perlu disediakan sebagai bentuk kesiapsiagaan. Mengenai solusi yang paling efektif, Ratna menekankan pentingnya sistem perlindungan yang terstruktur dan dapat dijalankan bahkan dalam kondisi terbatas. Penempatan petugas perempuan di titik-titik pengungsian, penerangan yang memadai, penataan ruang tidur terpisah, hingga pelatihan relawan tentang kekerasan berbasis gender menjadi langkah-langkah yang seharusnya menjadi standar. “Penguatan mekanisme pelaporan, kerja sama dengan lembaga layanan, serta edukasi komunitas juga dinilai sangat penting untuk memutus potensi kekerasan sejak awal,” ujarnya.
Ratna berharap agar perlindungan perempuan tidak lagi dipandang sebagai elemen tambahan dalam manajemen bencana. Sebaliknya, perlindungan perempuan harus menjadi komponen utama dalam setiap fase penanggulangan bencana. “Kita memerlukan sistem yang mengakui kerentanan berbasis gender sehingga keselamatan dan martabat perempuan selalu menjadi prioritas, agar kekerasan seksual dalam situasi kebencanaan dapat dicegah dan tidak lagi terulang,” tegasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Reuters
