Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) periode 2017-2025, Prof. Dwikorita Karnawati, mengatakan kompleksitas wilayah geografis Indonesia dipengaruhi oleh pertemuan tiga lempeng besar yakni Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Meski begitu, pertemuan lempeng ini menghadirkan kesuburan sekaligus risiko bencana yang memerlukan pendekatan ilmiah yang konsisten. Ia menjelaskan bahwa dinamika alam Indonesia menyebabkan gempa ribuan kali setiap tahun dan mempengaruhi stabilitas ruang hidup masyarakat. “Kegempaan di Indonesia dalam satu tahun bisa mencapai 10 ribu kali,” jelas Dwikorita dalam Diskusi Pemikiran Bulaksumur yang bertajuk Memperdalam gagasan Paradigma Archipelago sebagai fondasi memahami geografi kepulauan Indonesia yang diprakarsai Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Gadjah Mada pada Rabu (10/12) secara daring di kanal Youtube UGM.
Tidak hanya sampai di situ, perubahan iklim juga ikut memperberat kerentanan wilayah. Sebab, kenaikan suhu global menurutnya memicu percepatan siklus hidrologi yang berdampak pada frekuensi hujan ekstrem. Kondisi ini, menurut Dwikorita, menyebabkan bencana hidrometeorologi semakin sering tercatat di berbagai daerah. “Pembentukan awan kumulonimbus menjadi semakin kencang dan hujan lebat semakin sering terjadi,” katanya.
Dwikorita kemudian memberi gambaran mengenai tantangan penerapan sains dalam pengambilan kebijakan publik. Ia menuturkan bahwa rekomendasi berbasis data sering kali tidak cukup kuat ketika berhadapan dengan berbagai kepentingan di lapangan. Ia mengisahkan bagaimana zona rawan bencana yang telah dipetakan secara ilmiah dapat berubah ketika memasuki proses pengesahan. “Zona yang harusnya merah berubah menjadi kuning dan akhirnya dibangun kembali menjadi kota,” ungkapnya.
Menurutnya, diperlukan inovasi pemantauan kelautan yang terus dikembangkan BMKG untuk menjaga keselamatan transportasi laut. Ia menjelaskan bahwa sistem digital dan sensor berbasis kecerdasan buatan kini memungkinkan deteksi risiko bagi setiap kapal di lautan Indonesia. Upaya ini menjadi bagian penting untuk melindungi aktivitas perdagangan dan perikanan nasional. “Kapal yang berada di lautan bisa terdeteksi dan risiko keselamatannya dapat dihitung secara real time,” ucapnya.
Dr. Agung Satriyo Nugroho dari Pusat Kajian Geografi Kepulauan dan Pembangunan UGM memaparkan hasil riset sepuluh tahun tim Ekspedisi ARE mengenai resiliensi kawasan kepulauan. Ia menyoroti bahwa pendekatan resiliensi selama ini masih terfokus pada individu sehingga aspek kewilayahan belum terkelola secara optimal. Penelitian mereka kemudian menghasilkan konsep resiliensi regional yang memberi perhatian pada ketangguhan pulau kecil sebagai satu kesatuan sistem. “Resiliensi di konteks wilayah masih belum banyak dilakukan sehingga perlu pendekatan baru yang bersifat kewilayahan,” jelas Agung.
Agung menjelaskan bahwa banyak pulau kecil di tengah Nusantara yang belum tergarap padahal menjadi ruang hidup masyarakat maritim yang padat dan rentan. Melalui Ekspedisi ARE, timnya mengeksplorasi kondisi wilayah tersebut dan menyusun konsep ketahanan berbasis survival strategy. Ia menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih, pangan, energi, komunikasi dan ruang perlindungan. “Pulau kecil itu harus dieksekusi menggunakan survival strategy agar masyarakat tetap bertahan ketika terjadi bencana,” pesannya.
Ketua DGB UGM, Prof. M. Baiquni, mengatakan wilayah Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang terbentuk melalui proses geologi panjang. Ia menjelaskan bagaimana pemahaman terhadap relasi manusia dan lingkungan menjadi kunci pengembangan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan. Paradigma archipelago menurutnya menawarkan cara pandang yang menyatukan ruang darat dan laut sebagai satu ekosistem strategis. “Kita perlu mempelajari ilmu geografi untuk mengembangkan kekuatan kepulauan kita,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tantangan pembangunan muncul ketika praktik di lapangan tidak selaras dengan perspektif kepulauan. Baiquni menyebut sejumlah persoalan seperti pencemaran, banjir, pembukaan lahan, serta tekanan ekonomi yang berulang akibat pemanfaatan ruang tanpa kerangka keberlanjutan. Kondisi ini mendorong perlunya perencanaan yang lebih peka terhadap karakteristik Indonesia sebagai negara maritim. “Banyak praktek yang kurang menggunakan frame archipelagic paradigm sehingga problematika pembangunan terus berulang,” tuturnya.
Sekretaris DGB UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo menegaskan kembali pentingnya paradigma geomaritim dalam membangun kesadaran kebahasaan dan kebaharian bangsa. Ia menyebut sejumlah contoh yang menunjukkan bahwa Indonesia perlu memperkuat pendidikan dan kebijakan terkait karakter negara kepulauan. Wahyudi juga menyinggung perlunya pengakuan khusus bagi kabupaten berciri kepulauan agar pengelolaan wilayahnya lebih sesuai dengan kebutuhan lokal. “Sebagai negara bahari kita perlu menata kembali sistem pendidikan dan pemahaman tentang ruang hidup maritim,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Paxels dan YouTube UGM
