
Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengenai eksistensi militer di sipil mendapat sorotan besar dari publik sejak ramainya pembahasan mengenai RUU ini yang dilakukan secara tertutup. Kekhawatiran publik terhadap bayang-bayang dwifungsi ABRI yang bisa saja terulang kembali. Tak hanya itu, pembahasan RUU ini juga terkesan sangat tergesa-gesa. Padahal, idealnya proses penyusunan atau revisi undang-undang seharusnya terbuka untuk publik.
Seperti diketahui, Revisi UU TNI sudah disahkan oleh DPR RI pada hari kamis (20/3) lewat rapat paripurna. Terdapat perubahan pada beberapa pasal seperti pada pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Di UU TNI yang baru, TNI aktif dapat menjabat di 14 kementerian atau lembaga. Lalu ada perubahan pada batas usia pensiun bintara dan tamtama paling tinggi 55 tahun; perwira sampai dengan pangkat kolonel adalah 58 tahun. Kemudian, perwira tinggi bintang 1 adalah 60 tahun; perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan perwira tinggi bintang 3 adalah 62 tahun. Selanjutnya, terdapat perubahan tugas pokok TNI membantu menanggulangi ancaman siber.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhammad Najib Azca, Ph.D, menuturkan bahwa proses revisi undang-undang seharusnya dilakukan dengan penuh kehati-hatian. “Perlu dilakukan dengan terbuka, dengan partisipasi dan deliberasi publik yang luas,” kata Najib Azca di Kampus UGM, Jumat (21/3).
Menurutnya pembahasan sebuah RUU diperlukan semacam timeline, tambahnya, penjadwalan terbuka termasuk mengundang pihak-pihak untuk menyampaikan aspirasinya. Keterlibatan dalam diskursus dan partisipasi publik diharapkan mampu menjaga prinsip demokratis sehingga mampu menimbulkan kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah maupun parlemen sebagai pembuat kebijakan.“Jadi kan biar menjadi public discussion atau public deliberation”, katanya.
Najib mengakui indikasi kembalinya praktek dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada masa Orde Baru melalui revisi UU TNI masih jauh. Sebab, pada masa Orde Baru, militer bisa menduduki semua posisi sipil tanpa pengecualian, baik di legislatif melalui Fraksi ABRI maupun di eksekutif. Namun begitu, ia menegaskan masih ada sejumlah agenda reformasi militer yang hingga belum dijalankan, misalnya mengenai struktur komando teritorial yang masih bertahan dan bahkan tampaknya akan dimekarkan padahal tidak compatible dengan sistem demokrasi. Selain itu, belum adanya peradilan sipil untuk militer yang melakukan pelanggaran-pelanggaran sipil juga merupakan agenda yang perlu diwujudkan. “Nah, saat ini trendnya justru berkebalikan dengan semangat reformasi sektor keamanan”, tuturnya.
Sebagai negara yang menjalankan supremasi sipil dalam arti kepala pemerintahan merupakan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, kata Najib, masyarakat sipil perlu terus mengawal agar praktiknya betul-betul sejalan dengan prinsip dan mekanisme demokratis. Namun yang dikhawatirkan para aktivis masyarakat sipil adalah semakin banyaknya personil militer mengisi jabatan sipil justru mengurangi profesionalisme militer. “Jadi yang dicemaskan dengan penambahan porsi militer untuk berperan di jabatan sipil ini adalah berkurangnya profesionalisme militer serta merosotnya prinsip meritokrasi di lembaga publik,” tandasnya.
Najib Azca mengajak peran masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal kebijakan pasca disahkannya UU TNI. Masyarakat sipil perlu konsisten membangun kecakapan dan kepakarakan dalam isu-isu spesifik, termasuk di bidang pertahanan dan keamanan. Sehingga masyarakat sipil mampu melakukan pengkajian secara mendalam, mendetail, dan menyampaikan suara-suara kritis. Begitu pula media berkewajiban untuk mewartakan dan mengabarkan kepada publik mengenai diskusi kritis ini. “Saya kira proses yang terjadi sekarang ini harus terus dikritisi oleh publik, oleh civil society”, pungkasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie