Sektor pertanian Indonesia kini menghadapi tekanan ganda berupa erosi tanah dan erosi sumber daya manusia. Degradasi lahan akibat praktik monokultur, penggunaan pupuk kimia berlebih, dan alih fungsi lahan membuat kualitas tanah menurun dan biaya produksi meningkat. Kondisi ini berjalan beriringan dengan rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan profesi petani, sehingga regenerasi menjadi makin terhambat. Ironisnya, persepsi bahwa profesi petani tidak menjanjikan turut menyebabkan sektor ini didominasi populasi berusia lanjut.
Dalam sebuah webinar bertajuk ‘Sinergi Ilmu dan Kelembagaan untuk Pertanian Berkelanjutan’, Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, Dr. Hempri Suyatna, menilai fenomena tersebut sudah masuk kategori mengkhawatirkan dan membutuhkan intervensi serius. Ia memaparkan bahwa regenerasi petani gagal terjadi karena sektor pertanian kalah bersaing dengan pekerjaan lain yang dianggap lebih stabil. Dalam pemaparannya, Dr. Hempri menegaskan urgensi situasi tersebut. “Rata-rata usia tenaga kerja pertanian kita berada di atas 45 tahun, sangat sedikit anak muda yang tertarik,” ujarnya.
Dalam pandangannya, kerentanan petani bukan disebabkan kurangnya usaha, tetapi sistem ekonomi yang tidak berpihak. Ia menjelaskan bahwa rantai distribusi hasil pertanian masih dikuasai tengkulak sehingga petani tidak memiliki posisi tawar. Ketergantungan ini membuat pendapatan petani sulit meningkat meskipun mereka terus bekerja keras. Ia kemudian menekankan akar persoalan tersebut. “Petani itu miskin bukan karena malas, tapi karena kultural,” tegasnya.
Di tingkat lokal, berbagai tantangan struktural semakin memperumit persoalan. Petani masih menghadapi keterbatasan akses permodalan dan teknologi yang membuat produktivitas sulit berkembang. Selain itu, kemampuan manajerial yang rendah dan kurangnya orientasi usaha produktif membuat petani sulit menciptakan nilai tambah. Menanggapi hal tersebut, Hempri menyampaikan temuan lapangan yang ia amati. “Banyak dimensi yang memengaruhi hal ini, misalnya saja harga produk pertanian yang seringkali dipermainkan oleh para tengkulak,” tambahnya.
Menurut Hempri, titik lemah yang paling krusial justru terletak pada kelembagaan petani. Ia menilai sebagian besar kelompok tani belum berfungsi sebagai organisasi ekonomi dan masih terpaku pada implementasi program pemerintah. Minimnya peran kolektif membuat petani tidak memiliki daya tawar untuk mengakses pasar secara lebih adil. Ia kemudian menjelaskan tantangan yang dihadapi kelembagaan. “Peran kelembagaan tani dalam merespons program pemerintah masih dianggap kurang dan dukungan dari anggota juga belum maksimal,” terangnya.
Kelembagaan petani, kata Hempri, menjadi fondasi penting dalam meningkatkan daya saing dan kesejahteraan anggota. Dengan kelembagaan yang kuat, petani dapat menyusun perencanaan bersama, meningkatkan kapasitas produksi, dan memperkuat jaringan pemasaran. Upaya kolektif ini diyakini mampu mendorong terbentuknya ekosistem pertanian desa yang lebih stabil. Ia kembali menekankan makna penting kelembagaan tersebut. “Kelembagaan bukan sekadar sebagai sebuah wadah aktivitas, melainkan kerangka sosioekonomika,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Hempri menyampaikan harapannya terhadap masa depan sektor pertanian Indonesia. Ia menilai penguatan kelembagaan dapat memperbaiki citra pertanian agar lebih modern dan diminati generasi muda. Selain itu, kelembagaan yang solid diyakini mampu menjadi pintu masuk sistem agribisnis desa yang lebih terstruktur. Ia menegaskan optimisme tersebut. “Harapannya, melalui kelembagaan ini akan bisa meningkatkan daya saing anggota dan menjadi entry point untuk sistem agribisnis di desa,” pungkasnya.
Kegiatan webinar yang telah berlangsung ini merupakan bagian dari kampanye sains dan teknologi: ‘Riset Kuat, Pangan Hebat’, yang didukung oleh Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kemdiktisaintek, melalui Program Kampanye Tematik Sains dan Teknologi (Resona Saintek).
Penulis: Aldy Firmansyah
Editor: Triya Andriyani
