Pandemi Covid-19 menjadi titik balik dunia medis, hingga kini banyak negara berlomba untuk terus memperkuat ketahanan kesehatan. Salah satu yang dilakukan adalah pengembangan obat dan vaksinasi di bidang biofarmasi. Sayangnya, permasalahan di Indonesia kini masih mengandalkan kurang lebih 80 persen bahan baku obat dari luar negeri. Hal itu mengemuka dalam kegiatan Indonesia Biopharmaceutical Summit (IBS) 2025 dengan pesan “Shaping the Future of Biopharma in Indonesia”, pada 6–7 November 2025 di Fakultas Farmasi UGM.
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, Dr. Jeffri Ardiyanto, mengatakan Indonesia kini memiliki lebih dari 2.043 industri farmasi, sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan wilayah luar Jawa masih minim. Sedangkan usaha pemerintah dari belanja kesehatan nasional mencapai sekitar Rp200 triliun per tahun digunakan untuk sektor farmasi termasuk pengadaan obat secara loka. “Memang kebutuhan akan obat dan alat kesehatan ini perlu segera diatasi seiring kebutuhan farmasi nasional berkembang karena perubahan pola penyakit,” katanya.
Ia menyebutkan terjadi pergeseran penyakit dominan dari menular ke tidak menular seperti stroke, jantung, dan diabetes, dalam satu dekade terakhir. “Produk kita yang telah bisa diproduksi antaranya enoxaparin, insulin glargine, EPO, dan target sedang dikembangkan vaksin rubella, dengue, HPV, dan TB,” sebutnya.
Acep Riza Wijayadikusumah, Head of Life Science Product Development Division PT Bio Farma yang membagi pengalamannya mengembangkan vaksin polio nOPV2, hasil riset sejak 2011. Menurutnya, ini menjadi bukti bahwa inovasi lokal mampu memberikan dampak global. Acep menjelaskan ide dasar vaksinasi adalah memblokir interaksi antara patogen, baik virus maupun bakteri, dengan sel tubuh manusia. “Saat patogen masuk ke tubuh, mereka mencari celah untuk menginfeksi. Melalui vaksinasi, kita membentuk antibodi yang mampu menutup jalur masuk itu,” terangnya.
Dalam kombinasi tantangan industri, Miles Shi, Ph.D., General Manager TechOps PT Etana Biotechnologies Indonesia, memaparkan empat pilar utama yang saling berkaitan ialah regulasi, rantai pasok (supply chain), pengembangan talenta, dan efisiensi biaya. Miles menegaskan bahwa keempat aspek ini tidak dapat berjalan terpisah dan harus dikelola melalui kolaborasi antara industri, akademisi, dan pemerintah. “Di kancah akademisi itu masih lingkup riset dan prototipe, sehingga perlu menarik industri dan pemerintah seperti BPOM agar hasilnya dapat diproduksi dan dipasarkan secara legal,” ujarnya.
Dekan Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Satibi, M.Si., keberagaman ini membuka ruang untuk berbagi pengetahuan lintas bidang dari laboratorium hingga penerapan praktik nyata. “Bersama dengan PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) dan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (USD) sebagai co-host, summit ini membuka peluang kerja sama demi ketahanan kesehatan Indonesia,” ucapnya.
Kegiatan IBS 2025 ini diikuti oleh sekitar 286 peserta, baik secara daring maupun luring, yang terdiri atas sivitas akademika, peneliti, pelaku industri biofarmasi, serta perwakilan lembaga pemerintah seperti BPOM yang turut mendiskusikan topik hangat ini bersama 18 pembicara terkemuka dari berbagai lembaga dan industri biofarmasi dalam hingga luar negeri.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Aldi
