
Sementara itu, harga pangan yang meningkat secara global merupakan akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi yang pesat di beberapa negara sehingga menyebabkan konsumsi dan permintaan pangan terus meningkat. Di sisi lain produksi pangan belum dapat ditingkatkan secara signifikan karena terkendala oleh beberapa hal termasuk anomali iklim, berkurangnya daya dukung dan kualitas lahan, serta berkurangnya luasan lahan pertanian akibat alih fungsi untuk memenuhi lahan bagi sektor lainnya.
Guru Besar Bidang Ilmu Perikanan pada Fakultas Pertanian UGM Prof. Dr. Ir. Ustadi, M.P, mengatakan Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan Surimi untuk mengatasi persoalan krisis pangan dunia tersebut. Seperti diketahui, Surimi merupakan istilah dalam bahasa Jepang untuk daging lumat yang berasal dari ikan. Ustadi menyampaikan ikan merupakan bahan makanan yang mudah rusak (perishable), oleh karena itu perlu diupayakan untuk mempertahankan mutu diantaranya melalui pengolahan dan pengawetan. Pengolahan dan pengawetan ikan di Indonesia mencakup berbagai jenis produk olahan, baik tradisional maupun modern, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar lokal dan ekspor.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri surimi global. Dengan kekayaan sumber daya laut yang melimpah, Indonesia berperan penting dalam memenuhi permintaan surimi di pasar internasional, terutama di negara-negara dengan konsumsi seafood tinggi seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. “Ketersediaan bahan baku dari hasil tangkapan ikan laut di Indonesia bagian timur belum banyak dimanfaatkan,” ujarnya.
Demikian juga beberapa jenis ikan yang tersebar luas di seluruh Wilayah Pengelolaan Ikan (WPI) seperti Layang (Decapterus), Belanak (Moolgarda seheli), Baronang (Siganus), Kuniran (Upeneus sp.) dan Kembung (Indian mackerel) merupakan bahan yang potensial untuk diolah menjadi surimi. “Beberapa ikan air tawar yang telah dibudidayakan seperti gurame, patin, nila, karper dan lele juga punya potensi untuk dijadikan surimi, meskipun mutu tidak sebaik ikan laut. “Akan tetapi mutu surimi tersebut dapat ditingkatkan menggunakan teknologi pengolahan pangan seperti penambahan agen inhibitor protease, enzim transglutaminase, agen gelasi antara lain agar-agar, karagenan, alginat, putih telur, CaCO3, krioprotektan berupa nanokitosan dan kombinasi jenis ikan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, selama ini metode pengolahan tradisional masih menggunakan seperti penggaraman, pengasapan, dan perebusan masih banyak digunakan oleh masyarakat pesisir karena sederhana dan murah. Sementara itu, metode pengolahan modern seperti pembekuan, pengalengan, dan teknologi pencucian daging ikan untuk pembuatan surimi telah dikembangkan oleh industri pengolahan berskala besar.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sekitar 45 persen hasil perikanan Indonesia diolah dengan metode tradisional, 40 persen% menggunakan teknologi modern seperti pembekuan dan pengalengan, sementara 15 persen sisanya merupakan produk olahan lanjutan seperti surimi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengolahan dan pengawetan yang efisien serta merata sangat penting untuk mendukung ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan masyarakat pesisir. “Surimi menjadi salah satu komoditas ekspor utama, dengan sentra produksinya tersebar di wilayah seperti Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Lampung, yang memiliki akses terhadap pasokan ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Tingginya nilai tambah dari produk olahan modern menunjukkan pentingnya peningkatan kapasitas teknologi pengolahan di Indonesia guna mendorong daya saing industri perikanan nasional,” terangnya.
Soal peluang dan tantangan, kata Ustadi, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia, memiliki Sumberdaya Ikan yang sangat besar dan mempunyai prospek untuk mencukupi kebutuhan pangan bergizi protein masyarakatnya sendiri dan turut menyumbang kebutuhan masyarakat global. Produk ikan Indonesia 12,94 juta ton per tahun, lebih dari separuhnya merupakan hasil penangkapan, dan yang lainnya berasal dari budidaya dan produksinya masih bisa terus ditingkatkan terutama dari sektor budidaya karena baru 17 persen persen lahan potensial yang dimanfaatkan hingga saat ini sehingga kurang lebih seperempat dari produksi tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan selebihnya diperdagangkan khususnya ekspor.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto