Jepang menjadi perbincangan hangat baru-baru ini karena merencanakan pembuangan olahan limbah nuklir ke lautan pasifik. Dampaknya, tak hanya beberapa negara yang mengecam tindakan tersebut, masyarakat Jepang pun turut menggelar aksi demo pada PLTN Fukushima. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM dalam serial diskusi PoLes (Podcast Lestari) mengundang Dr. Ir. Haryono Budi Santoso, M.Sc., Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM untuk membahas isu tersebut pada Jumat (8/9).
“Itu jumlah total airnya banyak sekali, bahkan dikatakan bisa mencapai 50 ukuran kolam renang standar olimpiade. Air tersebut akan dilepas secara bertahap. Terjadilah kekhawatiran bahwa air itu nanti akan mencemari lautan, terutama di Samudera Pasifik. Sebagai contoh tanggapan yang menolak itu dilakukan Pemerintah Cina secara resmi. Mereka melarang mengonsumsi produk-produk laut dari Jepang. Padahal, Cina dan Hong Kong itu merupakan pasar terbesar produk lautnya Jepang dengan konsumsi 42% dari total produk laut Jepang,” ungkap Haryono. Sebagai tanggapan, Pemerintah Jepang juga telah mengklaim bahwa air tersebut sudah aman dan mendapatkan izin dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
“Kalau di lihat dari datanya itu aman sekali. Sebagai contoh, nilainya itu jauh dari batas yang diizinkan dari WHO, jauh lebih kecil. Mungkin karena dikhawatirkan mencemari lingkungan, maka banyak yang bersuara sumbang terhadap peristiwa tersebut,” tambah Haryono. Ia menjelaskan, pemerintah awalnya berusaha menangani bencana tsunami dan gempa yang berujung memicu reaktor nuklir di PLTN Fukushima. Kondisi darurat tersebut memerlukan proses pendinginan yang membutuhkan sumber energi listrik. Tapi karena adanya tsunami, seluruh aliran listrik pada saat itu padam. Maka Pemerintah Jepang berusaha memadamkan reaktor nuklir menggunakan air laut yang tersisa.
“Nah air yang digunakan itu tidak bisa serta merta dibuang ke laut, karena jelas-jelas terkontaminasi radioaktif. Oleh karena itu, ditampung air itu, terus menerus, hingga reaktor itu mendingin. Tampungan itu banyak sekali sampai sekitar 1000 tangki lebih, di mana ukuran tangkinya itu 1000 meter kubik. Kemudian setelah berhasil diatasi, akumulasi airnya yang terkontaminasi itu kan masih ada. Akhirnya, sesuai dengan sifat radioaktif yang meluruh dengan waktu, maka air yang terakumulasi itu tingkat radiasinya juga turun,” tutur Haryono.
Untuk meluruhkan kandungan radioaktif dalam air secara alami, akan membutuhkan waktu yang lama. Lahan untuk penyimpanan air tersebut akan digunakan kembali, sehingga Pemerintah Jepang menerapkan ALPS (Advanced Liquid Processing System) untuk mengupayakan air olahan tersebut bisa dilepas ke lautan. “Proses ini berhasil membersihkan sekitar 62 jenis radioaktif. Nah, setelah itu kan masih ditampung. Problemnya muncul di sini. Sistem yang ada sampai dengan saat ini belum bisa membersihkan tritium (H3). Kalau kontaminan radioaktif yang lain itu bisa. Tritium ini sifatnya seperti air, bergantung dengan air. Masalahnya, tritium ini radioaktif. Sehingga konsentrasi tritium di lingkungan itu harus sangat dibatasi, karena dia mampu menghasilkan radiation sickness,” papar Haryono.
Haryono menyatakan, batas kandungan tritium pada cairan menurut ketetapan WHO adalah 10.000 btr/liter. Berdasarkan aturan tersebut, Jepang justru mengambil batasan operasional jauh lebih kecil, yaitu 1.500 btr/liter. Proses peluruhan kandungan radioaktif telah diawasi ketat oleh organisasi IAEA selama bertahun-tahun. Pun ketika proses pelepasan air ke lautan, dilaporkan bahwa kandungan tritium tidak signifikan hingga 3 meter dari garis pantai. Sehingga dapat disimpulkan, pelepasan air olahan bekas pendinginan PLTN Fukushima tidak mengganggu ekosistem laut dan lingkungan.
Penulis: Tasya