Perguruan tinggi identik dengan kegiatan pendidikan dan riset. Untuk riset, sudah menjadi keharusan bagi seorang dosen atau peneliti untuk mencapai jenjang gelar akademik yang lebih tinggi bahkan untuk kepentingan promosi dan mendapat penghargaan. Namun begitu, tidak sedikit riset yang dilakukan merupakan pengulangan dari riset sebelumnya dan tidak memiliki unsur kebaruan. Sekarang ini muncul fenomena krisis reprodusibilitas dimana riset yang sudah dilakukan tidak bisa diuji ulang di tempat lain. Oleh karena itu, integritas dan etika riset harus dikedepankan oleh para akademisi agar tidak terjadi penyimpangan penulisan riset karya ilmiah seperti manipulasi data, plagiat dan pemalsuan data.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Scientific Integrity and Research Ethic, Rabu (6/12), di ruang auditorium Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada. Seminar yang diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian UGM ini menghadirkan tiga orang pembicara yakni Scientific Integrity Course Coordinator The University of Kansas, Amerika Serikat, Prof Teruna J Siahaan, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, Prof Dr Gunawan Indrayanto, dan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Prof. Dr. Abdul Rohman.
Teruna J. Siahaan mengatakan setiap mahasiswa dan peneliti harus bertanggung jawab dengan riset yang dilakukannya. Ia menyampaikan riset secara umum bertujuan mencari solusi dari permasalahan yang ditemukan di tengah masyarakat. Namun dalam bidang riset sains bertujuan memecahkan permasalahan yang ditemukan di alam. “Di kampus sekarang ini, tujuan seseorang melakukan riset untuk mendapat pengakuan, penghargaan, beasiswa hingga promosi jabatan,” katanya.
Bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata, Teruna mengaku ia sangat mengapresiasi sekali apabila riset dilakukan untuk mencari solusi dari masalah yang rumit, terutama riset yang secara langsung memberi dampak bagi masyarakat regional dan global seperti penemuan vaksin dan obat. “Riset ke aplikasi memberi dampak secara regional dan global. Ada pengaruh langsung pada masyarakat,” katanya.
Meski demikian, ia mengaku prihatin dan menilai saat ini adanya pelanggaran karya ilmiah dan penurunan integritas dalam melakukan riset dengan maraknya plagiarisme, fabrikasi dan falsifikasi. “Dalam sepuluh tahun belakang di Amerika Serikat, pelanggaran riset itu naik sepuluh kali lipat,” paparnya.
Ia menegaskan saat ini terjadi krisis reprodusibilitas dimana riset yang sudah dilakukan tidak bisa diuji ulang di tempat lain karena adanya pelanggaran karya ilmiah tersebut. “Hanya 25 persen yang bisa di uji ulang risetnya,” katanya.
Di setiap kesempatan di Universitas Kansas, ujarnya, pihaknya selalu menekankan para mahasiswa dan peneliti untuk menjaga integritas moral dan menjauhi pelanggaran karya ilmiah. “Menjaga kejujuran, bertanggung jawab, terbuka. Siap apabila divalidasi dan menghargai hasil karya orang lain,” ujarnya.
Sementara Gunawan Indrayanto mengatakan banyak penelitian tentang obat herbal di Indonesia namun riset tersebut belum sepenuhnya diuji secara berkelanjutan dikarenakan ketidakjelasan asal tanaman dan kejelasan kandungan senyawa serta senyawa apa saja yang reaktif terhadap membran sel pada tubuh manusia. Oleh karena itu, jarang ada obat herbal yang bisa direkomendasikan oleh dokter.”Di Amerika saja hanya ada dua obat herbal yang bisa ditebus dan resmi diedarkan oleh dokter untuk resep,” katanya.
Kepala LPPT UGM, Prof. Yusril Yusuf, M.Eng., Ph.D., mengatakan di LPPT UGM kegiatan riset banyak dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana dan peneliti. Pihaknya selalu melakukan edukasi tentang pentingnya integritas dan etika riset. Tidak hanya itu, pihaknya selalu mengharapkan penelitian dilakukan bukan sekedar untuk kepentingan publikasi semata namun bisa memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. “Kita ingin peneliti memahami sebuah riset itu dapat memberikan dampak bukan sekedar publikasi saja tapi ada unsur kemanfaatan dan keaslian data,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto