
Ritual Labuhan Merapi merupakan tradisi Keraton Yogyakarta yang tidak hanya menjadi tradisi tahunan, tetapi juga merefleksikan kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan di sekitar Gunung Merapi. Di balik prosesi ritual yang berlangsung setiap tanggal 30 Rajab ini, tersimpan nilai-nilai ekologis yang berkontribusi pada konservasi vegetasi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Berangkat dari hal tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian yang bertajuk “Labuhan Merapi: Analisis Aspek Ekologi Ritual dalam Upaya Konservasi Hutan dan Relevansinya dalam Perspektif Sains Modern.” Tim PKM yang beranggotakan Bhara Dewaji (Ketua, Kehutanan 2023), Vina Indrawati (Kehutanan 2024), Yassa Allaya Annas (Kehutanan 2024), Reina Arkhadia Eka Putri (Vokasi 2024), dan Inoora Putri Haliza (Ilmu Budaya 2024) ini mengkaji mengenai keterkaitan ritual dengan konservasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnoekologi, observasi lapangan, wawancara dengan tokoh adat, serta analisis vegetasi untuk mengungkap bagaimana kearifan lokal berperan dalam konservasi hutan.
“Labuhan Merapi bukan sekedar tradisi tetapi memiliki makna dan pesan konservasi. Ada aturan, pantangan, mitos dan folklor mengenai Eyang Sapu Jagad yang membentuk cara masyarakat dalam menghormati alam khususnya alam Merapi. Inilah yang menarik bagi kami untuk dikaji,” tutur Bhara Dewaji selaku ketua tim, kamis (9/10).
Ia pun menjelaskan bahwa tradisi Labuhan Merapi dilaksanakan di zona adat kawasan TNGM, mulai dari Pos 1 Bedengan hingga Pos 2 Srimanganti. Tradisi ini bukan sekadar ritual spiritual, melainkan juga upaya pelestarian hutan yang secara turun-temurun dan menjaga keterhubungan masyarakat dengan alam. Melalui prosesi pelarungan sesaji, kirab gunungan, hingga upaya penanaman spesies tesek, menandakan wujud rasa syukur sekaligus komitmen masyarakat dalam menjaga ekosistem Gunung Merapi.
Ritual Labuhan Merapi terbukti berperan dalam menjaga kelestarian hutan melalui aturan seperti larangan menebang pohon, membawa pulang tanaman yang ada di lokasi ritual, dan kewajiban menjaga keberadaan vegetasi yang ada. Analisis vegetasi juga menunjukkan adanya tanaman yang berfungsi ganda, selain dipakai dalam ritual juga mencegah erosi dan menjaga ekosistem. “Penelitian ini menjadi jembatan antara kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern, sehingga Labuhan Merapi tetap relevan sebagai tradisi budaya sekaligus contoh nyata praktik konservasi hutan Merapi,” ungkap Bhara
Sebagai langkah awal untuk untuk mengintegrasikan nilai budaya ke dalam strategi pengelolaan kawasan konservasi, dilakukan kegiatan pemaparan rencana penelitian oleh tim ke para pihak terkait. Kegiatan ini telah berhasil diselenggarakan di Balai TNGM, yang secara langsung dihadiri oleh Kepala Balai TNGM, Kepala SPTN Wilayah I dan II, Koordinator RPTN Wilayah Lingkup TNGM, Koordinator Urusan Program Data Informasi, Kehumasan, dan Kerjasama, Koordinator PEH, Koordinator Penyuluh, perwakilan Polisi Hutan, serta Tim PKM-RSH UGM Labuhan Merapi.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Tim PKM