Paviliun CLT Nusantara, sebuah rumah kayu ramah lingkungan hasil pengembangan tim riset yang dipimpin oleh Guru Besar FT UGM Prof. Dr. Ali Awaludin bersama mitra industri, resmi terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima Best Greenship Innovation pada Greenship Awards 2025 yang diselenggarakan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) pada Jumat (5/12) lalu. Penghargaan ini diberikan berdasarkan konsep bangunan ramah lingkungan yang dapat menjadi model konstruksi masa depan berbasis kayu rendah emisi. Penghargaan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan model konstruksi berbahan kayu yang sebelumnya telah berkembang di negara-negara maju. Rumah kayu ini juga menjadi simbol komitmen UGM dalam mendorong praktik keberlanjutan di lingkungan universitas.
Bangunan prototipe rumah kayu ramah lingkungan yang bernama Paviliun CLT Nusantara ini berdiri di Taman Manufaktur Fakultas Teknik UGM dan telah dikunjungi oleh berbagai mitra dari lima benua. Paviliun CLT menjadi contoh nyata integrasi teknologi kayu, energi surya, serta penerapan smart technology dalam satu bangunan. Usai diresmikan oleh Dekan Fakultas Teknik, Prof. Selo, pada 23 Agustus 2024, Paviliun CLT menjadi pusat perhatian para peneliti, akademisi, hingga tamu internasional. “Paviliun ini tidak hanya berfungsi sebagai ruang pertemuan atau showcase room, tetapi juga sebagai laboratorium bagi berbagai inovasi konstruksi berkelanjutan,” kata Ali kepada wartawan, Senin (8/12) di Kampus UGM.
Ali Awaludin menyampaikan beberapa aspek inovatif yang meliputi penggunaan material lokal berupa kayu akasia, sumber energi berupa panel surya, adanya sistem smart lighting, serta IoT smart garden yang mendukung prinsip nol emisi. Ketua tim riset Kedaireka ini menyampaikan beberapa pertimbangan digunakannya kayu akasia sebagai bahan utama, yakni karena jenis ini termasuk fast growing trees yang kuat dan tahan jamur. Ia menambahkan bahwa teknologi Cross-Laminated Timber (CLT) yang digunakan telah disesuaikan melalui reverse engineering agar cocok dengan iklim dan kondisi material Indonesia. Adapun teknologi CLT digunakan sebagai komponen alat sambung lokal untuk susunan kayu akasia yang cenderung ramping.
Hasil riset kolaborasi dari UGM, ITB, dan Polman Bandung ini berawal dari eksperimen menggunakan lakban dan kayu akasia, yang kemudian berkembang menjadi proyek skala nasional. Meski begitu, Ali menegaskan bahwa target dari Paviliun CLT ini sendiri bukan untuk hunian massal, melainkan sebagai bangunan edukatif atau public space seperti sekolah dasar, SMP, serta ruang belajar. “Konsep ini lebih kami tujukan untuk menjadi learning area, agar generasi muda bisa melihat secara langsung bagaimana ecological material diterapkan dalam konstruksi sehingga mereka bisa melihat secara langsung penerapan teori yang mereka pelajari” ungkapnya.
Ia juga sempat menyampaikan bahwa proyek ini sejalan dengan target nol emisi Indonesia pada 2026 dan dapat dicapai melalui reboisasi terencana. Secara teknis, kata Ali, inovasi dari recycle material ini memiliki keunggulan berupa struktur yang tahan guncangan, kemampuan menyimpan karbon, serta perawatan yang efisien. Ali menjelaskan bahwa bangunan kayu justru mampu bertahan lebih lama selama dirawat dengan benar. “Kayu cukup dipastikan kering dan tidak sampai lembab. Perawatannya sederhana, cukup digosok jika terlihat kusam dan coating ulang dua kali dalam setahun,” jelasnya.
Bagi Ali, Paviliun CLT Nusantara menjadi ruang kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri dalam mendorong adopsi konstruksi hijau. Ali berharap agar UGM akan segera menerapkan inovasi ini agar dapat menginspirasi kampus-kampus lain di Indonesia. Ia menyebutkan sejumlah universitas seperti UBC, Vancouver dan NTU, Singapura yang telah lebih dahulu membangun gedung bertingkat dari kayu. Dengan keberhasilan Paviliun CLT Nusantara meraih Best Greenship Innovation, menandakan langkah menuju masa depan konstruksi hijau di Indonesia terbuka lebih lebar. “UGM dan Indonesia berpotensi menjadi role model dalam menggagas konsep bangunan yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. FT UGM
