
Menyikapi rencana pemerintah membangun rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan ukuran luasan 18 meter persegi, Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK), Nurhadi, Ph.D., menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan kemiskinan baru apabila tidak disertai pendekatan kualitas hunian dan fasilitas pendukung. “Kebijakan ini perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kemiskinan baru di masa depan,” kata Nurhadi, Senin (7/7).
Menurut Nurhadi, ketersediaan kebutuhan papan atau rumah adalah salah satu dari layanan dasar dalam kebijakan sosial, bersama pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan pangan. Negara memang wajib memenuhi kebutuhan dasar ini, tetapi tidak cukup hanya menyediakan rumah. “Kualitas dan kelayakan juga perlu dipertimbangkan,” imbuhnya.
Menurutnya, rumah subsidi dengan luas 18 meter memang menunjukkan niat negara dalam menjamin hak tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, jika hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas, kebijakan ini bisa berdampak pada kesehatan mental, terutama bagi ibu dan anak, serta meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Nurhadi juga menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif. Perumahan tidak bisa dilepaskan dari fasilitas dasar seperti air bersih, sanitasi, akses ke pekerjaan, transportasi, dan layanan kesehatan. “Rumah tanpa pelayanan bukanlah rumah. Namun, itu adalah tempat berlindung tanpa martabat,” tegasnya.
Ia menilai bahwa pembangunan rumah subsidi berukuran kecil secara masif juga dapat memicu terbentuknya kawasan-kawasan baru yang terkesan kumuh atau slum area, apalagi jika ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang dikumpulkan dalam satu lokasi tanpa dukungan fasilitas memadai.
Sebagai solusi, Nurhadi menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan alternatif lain seperti membangun rumah susun. Menurutnya, dengan anggaran yang sama, pemerintah bisa membangun unit rumah susun yang lebih luas dan memiliki fasilitas ruang publik bersama. Ini akan menciptakan hunian yang lebih manusiawi dan layak.“Perlu dilakukan survei langsung kepada masyarakat MBR. Bagaimana yang mereka anggap sebagai rumah layak. Konsultasi ulang dengan calon penghuni sangat diperlukan,” jelasnya.
Penulis : Ika Agustin
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik