
Draft revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran mulai menjadi sorotan publik terutama di sejumlah kebijakan untuk mengatur siaran di berbagai saluran, termasuk platform digital. Meski perubahan terhadap UU Penyiaran memang sudah seharusnya dilakukan mengingat masifnya perkembangan teknologi dan industri siaran.
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Dr. Rahayu, M.Si., MA menyebut beberapa poin dalam RUU Penyiaran perlu dipertimbangkan kembali terkait kewenangan yang berlebihan bagi lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Saya lihat ada indikasi KPI ini akan jadi lembaga superpower, semuanya diatur,” tutur Rahayu pada Sekolah Wartawan Rabu (30/4) lalu.
Salah satu klausul yang perlu diperhatikan adalah Pasal 50B tentang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal tersebut tidak menjelaskan makna “eksklusif” yang dimaksud, sehingga dapat berpotensi multitafsir. Menurut Rahayu, ada irisan dengan wewenang jurnalistik, di mana pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pers Pasal 4 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
Selanjutnya, Rahayu menyoroti definisi RUU Penyiaran terhadap konten siaran. Pada Pasal 7 Ayat 1 dan Pasal 8A Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berfungsi menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan terhadap isi siaran dan konten siaran. Sedangkan konten siaran yang dimaksud merujuk pada materi siaran digital yang diproduksi oleh platform digital sebagai pelaku usaha, baik perorangan atau lembaga. Ia menyebut, pasal ini menimbulkan kebingungan terhadap posisi perseorangan dan lembaga yang terlihat disamakan.“Seharusnya perseorangan dengan lembaga tidak disamakan. Lembaga bisa berbadan hukum, perseorangan kan tidak,” ujar Rahayu.
Di RUU tersebut tidak ada penjelasan mengenai bagaimana bentuk pengawasan yang akan dilaksanakan oleh KPI. Mengingat konten-konten digital saat ini bertumbuh cepat dan masif setiap harinya. Padahal perihal konten sendiri sudah diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perusahaan platform digital.
Ada usulan menarik dalam Draft RUU Penyiaran, salah satunya Pasal 7 Ayat 3 yang menyebut kewenangan KPI untuk membentuk KPI daerah. Pada satu sisi, pasal ini dapat mendorong penayangan konten-konten budaya daerah dan memperkuat media lokal. Sayangnya, pasal tersebut tidak menjelaskan bagaimana mekanisme operasionalnya, mulai dari pembentukan KPI Daerah hingga pengelolaan finansialnya. “Dikhawatirkan usulan ini justru akan membebani anggaran di tingkat daerah,” imbuhnya.
Rahayu menegaskan, RUU Penyiaran masih masih memerlukan pertimbangan terhadap sejumlah pasal yang tidak efisien karena tumpang tindih dengan kebijakan lain. Jangan sampai regulasi soal siaran justru mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan mengancam perseorangan di platform digital. “RUU ini saya lihat justru banyak menghukum content creator, bukan platform. Aturan itu serahkan saja sama platform, mereka yang bertanggung jawab memoderasi konten. Pemerintah bisa berdiskusi dengan platform,” ucapnya.
Berkaca pada regulasi siaran di Eropa, undang-undang audiovisual memberikan pengaturan jelas pada siaran televisi dan platform digital. Contohnya, dorongan konten lokal, larangan penayangan konten diskriminatif, hingga aturan periklanan. Regulasi ini juga membedakan pengaturan pada keduanya, seperti regulasi penayangan produk tembakau di siaran televisi ataupun pengaturan video-sharing di platform digital. Hal yang penting adalah bahwa regulasi tersebut mengatur penyelenggara, lembaga, perusahaan siaran, bukan perseorangan.
Lebih lanjut, Rahayu menyampaikan ada poin penting yang luput dari RUU Penyiaran. Regulasi selama ini masih melihat garis besar industri media nasional saja, belum berupaya menggandeng media siaran lokal. Padahal sejak beralih ke digital, banyak TV lokal yang sulit bertahan, bahkan tumbang. Penting bagi pemerintah untuk melindungi industri penyiaran, bukan hanya memberlakukan pelarangan atau pembatasan. “Pada dasarnya keberadaan media ini kan bentuk dari suara masyarakat, maka perlu dilindungi,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie