Ratusan peserta dari berbagai daerah mengikuti Kongres Pancasila ke-12 yang dilaksanakan di Balai Senat, Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Kamis (26/9). Kongres Pancasila kali ini mengusung tema “Pancasila Nyawa Bangsa; Menghalau Kemerosotan Moral dalam Praktik Penyelenggaraan Berbangsa dan Bernegara”.
Di sesi yang pertama kongres Pancasila menghadirkan beberapa narasumber ahli di bidang ini yaitu Dosen Politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, Ph.D., Dosen Filsafat UGM, Agus Wahyudi, Ph.D., dan pengamat politik Rocky Gerung. Ketiganya mendiskusikan “Konsepsi Republik sebagai Gagasan Negara Ideal”
Airlangga Pribadi Kusman mengatakan Republikanisme atau respublika adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat melalui proses bernalar. Oleh karena itu, dalam proses berpolitik harus menggunakan akal sehat dan menggunakan argumentasi yang rasional. “Setiap perbincangan ruang publik apabila ada orang bicara tanpa menggunakan nalar, dia hanya kemudian bicara seenaknya bahkan cenderung menggunakan otoritas. Yang harus dilakukan adalah menghantam pandangan-pandangan tersebut. Karena itu pandangan tanpa argumen, ” jelas Airlangga.
Agus Wahyudi mengatakan konseps republik adalah gagasan untuk mencegah dan mengurangi kesewenang-wenangan kekuasaan atau abuse of power. Perlu ada cara untuk mencegah kesewenang-wenang dan penyelewengan kekuasaan. Menurutnya, sepanjang rakyat masih diajak ikut mengambil keputusan, berpartisipasi dan menunjukkan kepedulian, pertanda republik ini dalam kondisi sehat. “Demokrasi yang sehat saat rakyat peduli, jika rakyat tidak peduli, berarti republik tidak sehat,” paparnya.
Bagi Rocky Gerung, Pancasila adalah kompilasi dari pemikiran dunia. Semua pikiran dunia ada di situ, jadi republic of ideas, menuntun ilmu teknis di bawahnya. “Pancasila mampu diucapkan secara teoritis dengan pemikiran yang logis,” katanya.
Pancasila di era Soekarno, kata Rocky, adalah sebuah konsep pedagogi. Lalu di era Soeharto, pancasila dijadikan persyaratan untuk menapis lawan politik. “Padahal Pancasila itu untuk menghasilkan percakapan bukan didoktrinkan,” imbuhnya.
Selanjutnya, di era reformasi, banyak orang mencoba memberi “isi baru” pada Pancasila karena adanya persoalan kesetaraan gender, lingkungan dan kebencanaan. Akan tetapi mengalami reifikasi, karena ia tidak mampu didiskusikan lebih jauh. Namun belakangan ini, Pancasila sudah mulai dijadikan rujukan moral dan kebutuhan untuk mengevaluasi etika politik. “Yang kita ucapkan sekarang ini untuk mengevaluasi etika politik. Kemungkinan UGM masih akan lebih jauh menginterupsi kekuasaan hari ini, mengganggu stabilitas berpikir para politisi, selama ini tidak ada politisi diasuh oleh pikiran. Saya kira, relevan bahwa politik itu harus kembali ke kampus. Kita pastikan jadi ide praktis dan penuntun praktis,” pungkasnya.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto