Oleh Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc.
TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Piyungan adalah tempat pemrosesan akhir sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, yang terletak di Dusun Ngablak dan Watugender, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Apabila dilihat dari sisi sejarah TPA Piyungan didesain sejak sekitar 40 tahun yang lalu dengan luas 16 hektare menggunakan sistem sanitary landfill yaitu sistem pengelolaan atau pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya dengan tanah dengan harapan mengalami dekomposisi agar terurai.
Seiring berjalannya waktu ternyata gaya hidup manusia berubah ditunjukkan dengan berubahnya karakteristik sampah yang dihasilkan. Kalau sekitar 40 tahun yang lalu sampah didominasi oleh sampah organik, sejak tahun 1980-an mulai banyak kemasan sehingga pada saat ini sampah di perkotaan didominasi bahan anorganik terutama plastik. Perubahan karakteristik sampah tersebut tidak diikuti dengan perubahan metode pengelolaan sampah di TPA Piyungan, yaitu tetap menggunakan metode sanitary landfill. Karena yang ditumpuk sebagian besar adalah sampah plastik, tidak terjadi dekomposisi atau penguraian sehingga akhirnya eskalasi 5 tahun sudah lebih dari kapasitas. Jika ditumpuk, sampah ini akan menimbulkan unsur bahaya seperti longsor dan sebagainya.
Kondisi tumpukan sampah di TPA Piyungan yang semakin tinggi dan melebihi kapasitas membutuhkan pembenahan dalam waktu dua bulan untuk menata ulang kawasan tersebut. Pemusatan pengelolaan akhir sampah pada satu lokasi supaya efisien ditambah dengan adanya perubahan gaya hidup dari pedesaan menjadi perkotaan tentu memerlukan pihak ketiga untuk mengelolanya.
Apabila sekarang TPA Piyungan ditutup dan pengelolaan sampah dikembalikan ke daerah maka daerah pasti akan kelabakan. Kami sedang mendesain riset untuk meneliti pengujian kualitas air di sungai-sungai dalam dua bulan mendatang. Saya memiliki praduga lokasi pembuangan sampah yang sudah tidak diperbolehkan akan muncul lagi, sehingga jangan disalahkan jika kualitas lingkungan menurun di perkotaan karena memang belum ada solusi pengelolaan sampah akhir. Supaya efektif, pengelolaan sampah harus jadi satu kesatuan namun tidak dengan sanitary landfill, melainkan harus ada teknologi.
Penutupan TPA Piyungan merupakan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya. Jika sebelumnya hal ini dilakukan oleh masyarakat sekitar yang protes terutama pada musim penghujan dikarenakan banjir kemudian jalanan ditutup sehingga truk pengangkut sampah tidak diperbolehkan masuk. Sedangkan untuk sekarang, pengelola sampah yang membuat kebijakan penutupan tersebut. Kejadian ini akan terus bergulir jika tidak ada solusi yang konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sampah sebenarnya adalah pelayanan publik, sehingga seharusnya hal ini merupakan tanggung jawab dari kebijakan pemerintah, namun pemerintah saja akan kurang sehingga harus disampaikan kepada stakeholder untuk dilakukan musyawarah dan diskusi terkait penyelesaiannya. Sampah harus menjadi pelayanan yang dikelola oleh pemerintah karena akan berujung kepada kebersihan dan kesehatan serta peran stakeholder sangat kuat dalam hal ini.
Pemerintah Daerah Sleman memiliki ide membuat tempat pembuangan sampah sementara di daerah Sleman utara yaitu berlokasi pada sisa lokasi penambangan pasir. Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc. mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan masalah baru dikarenakan di sana merupakan daerah resapan sehingga akan mengakibatkan kacaunya air tanah.
Hal yang harus kita sadari adalah mengenalkan dulu jenis-jenis sampah kepada masyarakat dan dilakukan dengan membuat Perda yang disana akan diatur serta saya mengusulkan konsep sampah berbayar. Konsep dari sampah berbayar ini adalah jika seseorang atau keluarga ingin membuang sampah dengan membayar sedikit, maka harus mengelola sampahnya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemilahan sampah secara mandiri.
Sampah dari bahan organik dapat dikelola sendiri dengan dijadikan kompos, kemudian sampah dari kertas disisihkan sendiri serta sampah plastik juga disisihkan sendiri yang nantinya akan ada pihak ketiga yang akan mengambil. Harapannya nanti yang diambil adalah residunya saja sehingga menjadi lebih sedikit. Namun pasti akan ada masyarakat yang mampu membayar lebih banyak dikarenakan tidak sempat mengelola sampahnya sendiri.
Apabila proses 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pada sampah dilakukan dan diperketat maka masyarakat akan berhemat. Misalnya sampah-sampah sisa makanan di suatu daerah tertentu akan dikumpulkan untuk bahan makan maggot. Hal-hal semacam ini diharapkan akan muncul dengan sendirinya. Termasuk yang buang sampah sembarangan diberikan sanksi bukan hanya teguran tapi menjadi tindak pidana ringan yang bisa diadukan.
Metode sampah berbayar adalah solusi untuk masalah hulu yaitu pada masyarakat. Kemudian harus ada teknologi untuk pengelolaan sampah di TPA Piyungan. Saat ini sedang ramai-ramainya pengurangan penggunaan bahan bakar batubara untuk PLTU dan sebagainya dengan cara co-firing yaitu campuran bahan bakar. Jika diproses dengan kadar air kurang dari 20%, maka sampah akan mengandung kalori untuk bahan bakar.
Teknologi ini dapat diterapkan agar sampah yang terkumpul sebanyak 600 ton perhari di TPA Piyungan dapat dikelola dengan dicacah, dikompres, dan diangin-anginkan kemudian dikemas maka akan menjadi rdf atau bahan bakar. Plastik memiliki kalori untuk menggantikan fungsi batubara pada prosesnya. Sampah yang ada di TPA Piyungan bisa ditambang secara dikit demi sedikit kemudian dipilah dan diolah satunya menjadi pupuk dan satunya menjadi bahan bakar. Maka hal ini akan bisa memfungsikan lagi luas TPA Piyungan.
Proses secara mekanistik dari sampah siap menjadi bahan bakar dihitung membutuhkan biaya berapa sehingga nanti dapat ditentukan ongkos sampah berbayarnya menjadi berapa, hal ini harus terintegrasi dengan pemerintah yang dilindungi dengan Perda yang kuat