Masalah ketenagakerjaan masih menjadi polemik di era bonus demografi Indonesia saat ini. Terlebih dengan adanya wacana Indonesia Emas 2045, lulusan perguruan tinggi dituntut untuk menjadi tenaga kerja inovatif yang mampu menjawab tantangan zaman. Tak hanya itu, perihal inklusivitas dan kemudahan akses pendidikan juga menjadi poin yang turut dipertimbangkan. Untuk membahas isu tersebut, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, bersama Program Kartu Prakerja, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dan karier.mu mengadakan seminar nasional bertajuk “Pendidikan Berkualitas untuk Semua: Inklusi dan Aksesibilitas dalam Lifelong Learning” pada Kamis (14/9).
“Saya ucapkan terima kasih pada seluruh pihak. Merasa sangat terhormat tentunya untuk bisa bekerja sama dengan UGM dan Program Prakerja. Tujuan utamanya, kami ingin menghubungkan teman-teman dengan sumber belajar yang sudah dikurasi, untuk mendukung persiapan karier teman-teman. Jadi, kami juga ingin membangun kesadaran dalam mendorong kesinambungan program yang ada saat ini, terlebih dalam konsep Lifelong Learning,” ucap COO karier.mu, Radin Qierra, dalam sambutannya. Kerja sama antara karier.mu dan Sekolah Vokasi UGM ini dituangkan dalam bentuk pelatihan kerja melalui Program Kartu Prakerja. Nantinya, pelatihan ini ditujukan bagi seluruh peserta prakerja, khususnya mahasiswa vokasi yang membutuhkan persiapan matang sebelum berkarier.
Direktur Eksekutif Prakerja, Denni Puspa Purbasari, menjelaskan bagaimana program Prakerja turut memberikan sumbangsih mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. “Kita ini sudah bersepakat menjadi negara maju di 2045. Untuk itu, pendapatan ekonomi kita harus terus tumbuh. Salah satu faktor yang memengaruhi ini adalah jumlah tenaga kerja. Saat ini, kita sedang berada di bonus demografi. Harapannya, bonus ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah orang yang bekerja. Bukan hanya itu, kita juga butuh meningkatkan produktivitas. Jadi, bukan kepalanya saja yang banyak, tapi apa yang dihasilkan itu juga meningkat,” paparnya. Meskipun Program Prakerja ini dikhususkan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang dapat bersaing, bukan berarti dapat mengesampingkan pendidikan tinggi. Denni menekankan, ia tidak ingin Kartu Prakerja menumbuhkan sentimen negatif akan urgensi perguruan tinggi.
“Kuliah itu akan membentuk framework, kerangka pikiran dan karakter. Itu yang lebih penting. Jadi, bukan berarti ketika bisa bekerja tanpa berkuliah, kuliah menjadi tidak penting. Program Prakerja ini juga mendukung sistem longlife learning, jadi cakupan yang kami ambil di sini berusia 15-65 tahun. Nah, kenapa kita juga mencakup usia yang 50-60 tahun? Ini karena kami tidak ingin generasi ini menjadi generasi sandwich,” ungkap Denni. Kondisi tenaga kerja saat ini banyak yang menjadi generasi sandwich karena menanggung beban orang tua dan beban keluarga. Untuk itu, Kartu Prakerja juga memberikan pelatihan keterampilan bagi masyarakat lanjut usia agar masih tetap produktif meskipun sudah pensiun.
Sejalan dengan Denni, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. Dr. Wening Udasmoro, SS, M.Hum., DEA., juga mengungkapkan pentingnya menerapkan konsep longlife learning berdampingan dengan inklusivitas dan aksesibilitas. “Kami sangat berharap persoalan aksesibilitas dan inklusivitas ini menjadi gerakan bersama di seluruh Indonesia. Karena dengan memberikan fokus pada inklusivitas, maka persoalan kerja ini akan benar-benar berdampak bagi mereka yang belum mendapatkan kesempatan. Banyak teman-teman dan kita yang berada di pelosok itu masih sangat sulit mengakses sekolah, apalagi untuk mengakses pendidikan tinggi dan pelatihan yang mumpuni. Kalau kemarin dikatakan dunia sedang mengalami economy crisis, maka saya kira Indonesia ini tidak berdampak. Ekonomi kita itu kuat. Maka dari itu, jangan sampai ketika ada kemajuan di berbagai sektor, tapi masih ada banyak anggota masyarakat yang belum bisa mengakses berbagai layanan,” tuturnya.
Prof. Wening menambahkan, aspek inklusivitas ini menjadi penting untuk memberikan akomodasi pada masyarakat golongan rentan, seperti pensiunan, disabilitas, dan masyarakat di daerah pelosok. Hal tersebut tentunya juga menjadi pilar utama dari UGM sejak masa berdirinya. “Inklusivitas di UGM ini sudah ada sejak lahir, merupakan bagian terpenting dari UGM. Penelitiannya inklusif, inovatif, dan berdampak pada masyarakat. Kita juga menekankan pada pengabdian masyarakat yang komprehensif dan berkesinambungan. Dan ini yang sedang kita dorong ya, bagaimana menciptakan kampus yang aman, ramah lingkungan, sehat, berbudaya, dan bertanggung jawab secara sosial,” ujar Wening.
Inklusivitas ini hanya bisa diwujudkan dengan adanya bentuk solidaritas dan empati dari segala pihak, tidak bisa jika hanya diinisiasi oleh satu pihak saja. Karenanya, baik dari masyarakat ataupun pemegang kepentingan, harus memiliki kesadaran akan pentingnya menjangkau masyarakat marginal, golongan rentan, dan masyarakat yang terhambat aksesibilitasnya. Dengan begitu, keadilan sosial dan kesejahteraan dapat terwujud di segala sektor yang berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Tasya