
Gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida telah lama menjadi isu global. Meski secara alami keberadaan gas-gas ini ada di atmosfer, aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, penggunaan kendaraan bermotor, hingga alih fungsi hutan semakin mempercepat akumulasi emisi, dan memicu pemanasan global. Data di tahun 2022 memperlihatkan sektor kehutanan menjadi penyumbang terbesar emisi di Indonesia dengan porsi sebesar 45 persen, disusul energi 36 persen, pertanian 8 persen, limbah 8 persen, dan industri 4 persen.
“Ironisnya, hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap karbon justru berubah menjadi penyumbang emisi akibat pembakaran lahan, konversi hutan, serta degradasi gambut,” ujar Ahmad Zaki, S.E., M.Acc., Ph.D., dosen Program Studi Akuntansi FEB UGM saat berbicara dalam podcast bertajuk Accounting for Society: Akuntansi Karbon belum lama ini.
Menurut Zaki, kesadaran soal pentingnya pengendalian emisi sebenarnya sudah lama berkembang. Bahkan kesadaran ini hadir sebelum munculnya mekanisme perdagangan karbon (carbon trading). Sejumlah perusahaan besar pengguna energi fosil pun telah melakukan pengungkapan emisi secara sukarela sebagai bentuk tanggung jawab sosial. “Dulu, disclosure dilakukan secara voluntary sebagai wujud perusahaan telah melakukan sesuatu sehingga dampak pemanasan global bisa ditekan. Semakin lama, inisiatif ini berkembang menjadi sesuatu yang bersifat market-based melalui perdagangan karbon,” jelasnya.
Indonesia dalam perkembangannya kini telah meluncurkan IDX Carbon sebagai bursa karbon resmi. Nilai transaksi hingga 2024 telah mencapai 60 miliar rupiah. Angka yang dinilai masih kecil dibandingkan dengan potensinya. Regulasi terkait inipun terus berkembang diantaranya Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon hingga POJK No. 14 Tahun 2023 mengenai perdagangan karbon. “Satu kredit karbon di IDX Carbon setara dengan satu ton CO₂, dengan nilai rata-rata sekitar 500 ribu rupiah,” ucap Zaki.
Bagi Ahmad Zaki, mekanisme ini sesungguhnya membuka peluang besar bagi perusahaan, dan mampu menekan emisi di bawah batas yang ditetapkan untuk menjual surplusnya, sekaligus mendorong lahirnya berbagai proyek hijau di tanah air. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa pasar karbon juga menghadapi tantangan serius. Potensi greenwashing, manipulasi data, hingga lemahnya standar pengukuran menjadi isu yang perlu diwaspadai. “Data emisi berbeda dengan angka di laporan keuangan. Ada banyak faktor yang bisa membuat angka berubah, sehingga potensi fraud atau manipulasi cukup besar,” terangnya.
Sebagai seorang yang menekuni kajian akuntansi lingkungan dan sosial, Zaki menandaskan peran akuntansi begitu menjadi sangat penting dan strategis. Carbon accounting pada akhirnya hadir sebagai cabang akuntansi yang fokus pada pengukuran, pelaporan, dan pengungkapan emisi karbon. Melalui metode berbasis aktivitas maupun rantai pasok, akuntan dapat menghitung seberapa besar jejak karbon (carbon footprint) yang dihasilkan perusahaan. Informasi inipun kemudian dilaporkan dalam sustainability report, program CSR, maupun dimanfaatkan dalam perdagangan karbon.
“Ketika karbon menjadi objek perdagangan di pasar, peran akuntan semakin nyata. Akuntan berperan menghitung sejauh mana karbon dihasilkan perusahaan dari aktivitas operasionalnya, dan data tersebut akan sangat berguna bagi investor maupun kreditor,” ucapnya.
Menyoroti konsep net zero emission, disebutnya kini menjadi strategi global dalam menghadapi perubahan iklim. Perusahaan dapat mencapai target ini melalui proyek hijau, efisiensi energi, atau membeli kredit karbon. Meski demikian, ia kembali mengingatkan bahwa mekanisme ini bukan solusi final. “Karena ada argumen yang mengatakan carbon trading itu seperti low hanging fruit solution yang mudah tapi tidak bisa mengatasi persoalan sistemik. Substansinya, natural resources tetap digunakan untuk operasional, sehingga persoalan akar tidak terselesaikan,” ujarnya.
Meski masih menyisakan kritik, Ahmad Zaki mengulas bila keberadaan carbon accounting tetap penting. Kuantifikasi emisi membuat isu ini lebih jelas dan terukur sehingga dapat dikelola secara lebih bertanggung jawab. Bagi para profesi akuntansi, ruang kontribusi menjadi semakin luas. Dengan persoalan lingkungan ini, para akuntan tidak hanya menyusun laporan keuangan, tetapi juga menghitung emisi, mengevaluasi data dari pihak ketiga, hingga mengelola surplus atau defisit emisi di pasar karbon.
Secara sederhana, Ahmad Zaki memberikan contoh perhitungan jika sebuah perusahaan memiliki seratus taksi. Dengan konsumsi bahan bakar 10.000 liter bensin per tahun maka bagi seorang akuntan bisa menghitungnya dengan cara total emisi yang dihasilkan dikalikan jumlah mobil, konsumsi bahan bakar, dan faktor emisi. “Dari situ maka akan ketahuan seberapa besar jejak karbon yang dihasilkan perusahaan,” terangnya.
Sebagai moderator podcast bertajuk Accounting for Society: Akuntansi Karbon, Rijadh Djatu Winardi, Ak., S.E., M.Sc., Ph.D berharap berbagai persoalan lingkungan ini diharapkan membekali mahasiswa akuntansi menguasai keterampilan tentang carbon accounting. Melalui proyek maupun studi kasus, mahasiswa perlu mengetahui metode perhitungan emisi berbasis aktivitas maupun rantai pasok. “Dengan ini mereka yang menekuni profesi akuntansi di masa depan dapat berkontribusi lebih besar dalam mendukung tercapainya lingkungan yang keberlanjutan,” imbuhnya.
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik & FEB UGM