Bidang pertanian sebagai salah satu sektor penting yang bersangkutan dengan kedaulatan negara tengah mengalami sejumlah tantangan. Salah satu tantangan ini adalah peran generasi muda di dalamnya yang masih sedikit. Di samping itu, generasi tua yang mendominasi tidak lagi dalam usia produktif. Guru Besar dalam bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D., mengatakan salah satu faktor kunci dalam mengatasi keterbatasan SDM pertanian tersebut adalah pembangunan SDM dan kelembagaan yang harus unggul. Pasalnya angkatan kerja pertanian kian menua dan kurang adaptif, sehingga generasi muda menjadi harapan pemecah masalah di atas. “Implikasinya jumlah petani tua yang dominan ini ada dua, di satu sisi keprihatinan, tapi di sisi lain ini ruang baru,” ungkap Subejo dalam webinar yang bertajuk “Pemuda Bersatu Pertanian Maju”, Sabtu (26/10).
Menurutnya, sektor pertanian harus ramai diisi oleh kalangan muda serta difasilitasi dan dibangun kapasitasnya. Selain itu, pemerintah harus mendorong revolusi hijau untuk tanaman pangan dan agroforestry, program revolusi biru untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan serta revolusi putih untuk bidang peternakan. Lebih jauh Subejo menyatakan bahwa generasi muda perlu masuk dalam agenda pertanian karena mereka memiliki pengetahuan dan perspektif yang lebih luas, sikap positif, akses informasi, dan kemampuan membangun jaringan. Generasi muda dipandang mampu lebih memberikan nilai tambah yang tidak hanya berkutat dalam hal komoditas, tetapi juga menyelenggarakan pengalaman pertanian. Memberi pengalaman unik yang berkesan tentang pertanian dengan harga yang berkali lipat dari hanya menjual komoditas, contohnya membuka wisata panen kopi atau petik buah. “Usaha kreatif ini lekat dengan peran generasi muda,” katanya.
Beliau juga mendorong adanya cyber extension untuk membina petani, untuk melengkapi penyuluhan konvensional secara lebih cepat melalui IT sehingga saling melengkapi. “Kalau kita dorong pasti manfaatnya sangat besar, contohnya seperti adanya DESA(Digital Extension Society for Agriculture) apps ini,” katanya.
Namun ada hal yang tak kalah penting menurutnya adalah penguatan kelembagaan pertanian untuk menggerakkan petani dengan pola yang bermacam-macam sesuai dengan problem dan potensi yang dimiliki petani di daerah. “Seperti yang telah kami lakukan di UGM, kami berkolaborasi dalam program pengembangan semangka non biji di Sleman hingga mampu mendorong produktivitasnya sampai 30 ton seminggu,” katanya.
Subejo memandang inovasi menjadi hal yang penting dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dan pemberian nilai tambah. Inovasi ini dapat dilakukan bersama dengan kelompok usaha setempat, seperti Kelompok Wanita Tani (KWT), koperasi, atau pasar lelang yang memungkinkan terjadi tawar menawar yang sehat antara petani dan tengkulak atau pembeli. “Regenerasi muda dan revitalisasi kelembagaan menjadi hal yang penting untuk ini. Pemuda berpotensi besar membawa pertanian Indonesia menjadi semakin maju,” tutupnya.
Sementara Tumpal Gultom, S.Si., petani milenial asal Kabupaten Gunungkidul membagikan kisahnya terjun ke pertanian. Berawal dari hobinya berkebun di halaman rumah sejak tahun 2020 dengan modal dan skala kecil, ia mengabadikan kegiatannya dengan membagikannya di Youtube. Antusiasme masyarakat yang besar membuat dirinya semakin berkembang. Tumpal kemudian membangun kebun edukatif untuk eksperimen dan eksplorasi, seperti praktik metode tanam mulai dari hidroponik, aquaponik, organik, integrated farming, maggot, dan sebagainya. Kini, Tumpal memiliki akun sosial media instagram yang menyentuh 600.000 lebih pengikut dan membagikan kegiatannya seputar bercocok tanam.
Selain itu, ia mulai menyanggupi kebutuhan pasokan sayur dan membuat kebun produksi sayur dengan sistem hidroponik. Lalu, kebun aquaponik skala prototipe dikembangkannya dengan menanam kangkung, bayam, cabai, melon, dan terong. Buah dan sayur ini ditanam di atas kolam ikan lele, bawal, dan nila untuk memupuk tanaman tersebut dengan limbah air kolam ikan.
Saat ini, hidroponik skala produksi miliknya menghasilkan selada sebanyak 15–20 kg per hari secara rutin. Baginya, peluang bisnis pertanian memiliki prospek yang sangat besar. “Produk pertanian akan selalu dibutuhkan karena jumlah manusia dan kebutuhan pangan meningkat, tetapi jumlah petani semakin menurun,” kata tumpal.
Bagi Tumpal, pekerjaan di bidang pertanian sangat mudah dilakukan dengan adanya bantuan teknologi, sosial media, dan digitalisasi. Terkait dengan kendala yang kerap dihadapi petani berkenaan dengan modal, ia menyatakan bahwa modal uang, ilmu, dan lahan ini mampu ditangani dengan hasil dari media sosial. Masalah lainnya seperti harga jual yang murah Tumpal tangani dengan menghindari tanam serentak-panen raya, tetapi tanam setiap hari dan panen setiap hari. Dengan itu, harga jualnya akan lebih tinggi hingga mampu menutup harga pupuk dan operasional yang mahal.Tidak hanya itu, ia terbebas dari harapan adanya bantuan pemerintah karena telah mampu berdikari. “Anak muda sebagai petani sekarang tidak hanya menanam dan panen sayuran, tetapi bisa juga menjual jasa seperti jasa pembuatan aquaponik, menjual edukasi pertanian, wisata pertanian, dan membuat konten di sosial media hingga dapat termonetisasi,” ungkapnya.
Tumpal mendorong kreativitas anak muda agar terus dikembangkan karena dirinya telah merasakan dampak pemanfaatan sosial media ini yang berimbas pada branding diri, kepercayaan customer karena proses produksinya terpampang jelas, serta mempermudah promosi penjualan tanpa tengkulak. “Jangkauan dan relasi banyak kami dapatkan dari sosial media, bahkan hingga kementerian pertanian. Tidak perlu memiliki saudara yang bekerja di sana,” tuturnya.
Tumpal berharap integrasi modern farming yang diiringi dengan pemanfaatan sosial media makin digeluti anak muda karena ini adalah hal yang cocok untuk dilakukan generasi masa kini.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson