Semiloka bertema Surat Cinta dari Bulaksumur: Membangun Masa Depan Pariwisata Indonesia yang Tangguh, Berdaulat, dan Bertanggung jawab menandai Peringatan Dies Natalis Pusat Studi Pariwisata UGM ke-30. Semiloka digelar sebagai wujud perjalanan 30 tahun Puspar UGM berdiri dan kedepannya untuk terus menelurkan gagasan sebagai bentuk kontribusinya bagi perkembangan kepariwisataan Indonesia agar semakin lebih baik.
“Surat cinta dipilih sebagai sebuah ungkapan perasaan rasa cinta yang begitu mendalam bagi perkembangan pariwisata di Indonesia,” ujar Kepala Puspar UGM Dr. Muhamad Yusuf, M.A., di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (23/7).
Muhamad Yusuf menuturkan berita gembira saat ini mengiringi langkah Indonesia di kancah pariwisata global yang mencatatkan diri pada peringkat 22 menurut Travel Tourism Development Index. Capaian ini meningkat dari sebelumnya yang berada di peringkat 32 dunia.
Dengan capaian yang luar biasa tersebut bukan berarti pariwisata tanpa tantangan. Masih banyak permasalahan yang mengiringi perjalanan kepariwisataan Indonesia, dan ini perlu mendapat perhatian serius dan solusi komprehensif dalam menghadapinya.
“Dari titik berangkat inilah membuat Puspar UGM merasa perlu mengirimkan ungkapan rasa cintanya melalui kegiatan yang bertajuk Surat Cinta dari Bulaksumur Membangun Masa Depan Pariwisata Indonesia yang Tangguh, Berdaulat dan Bertanggung jawab,” papar Yusuf.
Yusuf juga menambahkan bila “surat cinta” akan berbentuk policy brief, paper (makalah) yang agak panjang serta buku. “Para tamu yang hadir di sini, jika ingin menyumbangkan satu chapter tulisan bisa kami tampung dan terbitkan dalam bentuk buku untuk melengkapi tulisan yang sudah ada ini,” tambahnya.
Dalam semiloka ini, Puspar UGM menghadirkan para pemikir utamanya untuk berbagi perspektif dalam dua sesi utama dimana pada sesi pertamanya menghadirkan Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si. yang menyoroti kebijakan pariwisata pada masa transisi pemerintahan dimana sejauh mana prioritas kebijakan politik dan ekonomi akan berpengaruh terhadap arah kebijakan pariwisata Indonesia. Senada dengan pembicara sebelumnya, Prof. Ir. Tarcicius Yoyok Wahyu Subroto mengulas tantangan pelestarian dan konservasi yang perlu dilakukan di destinasi dengan paradigma pertumbuhan ekonomi yang masih begitu kuat. Sementara, Prof. Tri Kuntoro Priambodo, membahas sisi gelap digitalisasi yang selama ini selalu diagung-agungkan sebagai salah satu alat pertumbuhan pariwisata, hanya saja keberadaannya juga menimbulkan sisi gelap berupa kejahatan siber yang siap mengintai. Di sisi lain, Prof. Dr. Muhammad Baiguni, M.A., mengingatkan bahwa ada ancaman nyata lain seperti perubahan iklim dan dampak yang menyertainya bagi ekosistem kepariwisataan Indonesia dan juga strategi menghadapinya agar dapat berjalan dengan seimbang.
Sesi kedua menghadirkan Bobby Ardiyanto Setyo Adji sebagai perwakilan GIPI DIY yang membahas mengenai kondisi industri pariwisata yang masih rapuh terhadap ancaman globalisasi dan pasar yang terus menekan. Ia memberikan gambaran berdasarkan informasi yang faktual mengenai bagaimana industri dapat terus berkembang dalam menghadapi tantangan tersebut. Di sisi lain, Dr. Wiwik Sushartami mencoba menguraikan juga kesenjangan dunia pendidikan pariwisata dengan relasinya terhadap dunia industri serta bagaimana cara mengurai kesenjangan tersebut yang dapat menjawab tantangan dari industri.
Dr. rer. Pol. Dyah Widyastuti membahas mengenai bagaimana masifnya pertumbuhan destinasi pariwisata yang berusaha untuk mengejar pertumbuhan demand yang semakin naik sehingga menyebabkan pertumbuhan di destinasi menjadi tidak terkendali dan diskusi mengenai pariwisata hijau menjadi tertinggal. Sesi inipun ditutup oleh Dr. Hendrie Adji Kusworo yang menyuarakan mengenai pentingnya penguatan peran komunitas dalam pembangunan pariwisata, sejauh mana peran tersebut diamati dan bagaimana strategi kedepan komunitas ini dapat menjadi pemain utama penggerak pariwisata Indonesia dan tidak hanya menjadi penonton saja.
Penulis: Agung Nugroho