
Polemik imigran menjadi salah satu isu sosial yang muncul di berbagai negara. Konflik, perang, hingga kemiskinan melatarbelakangi tingginya populasi imigran dalam suatu kelompok masyarakat. Mengangkat isu tersebut, Mumtaz Khan Chopan memotret kisah para imigran tersebut melalui seni. Dalam sesi paralel The 20th International Association for the Study of Forced Migration Conference 2025 pada Rabu (22/1) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, Mumtaz menceritakan bagaimana karyanya didasarkan pada pengalaman pribadi sebagai imigran.
Karyanya di “Museum of Shredded Memories” mengeksplorasi situasi emosional yang dialami oleh kelompok imigran paksa. Mereka yang terpaksa meninggalkan tanah air ketika negaranya sudah tidak memungkinkan untuk ditinggali. Mumtaz berhasil menyusun berbagai peninggalan imigran, seperti dokumen yang hancur, foto, pakaian yang tertinggal, menjadi satu instalasi yang menggambarkan kengerian dan trauma para imigran. “Saya memotret memori-memori perjalanan mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Saya buat seberantakan mungkin untuk menggambarkan chaos-nya situasi,” ungkap Mumtaz.
Ia menjelaskan sebuah perasaan yang tak terlupakan yang dialami hampir seluruh imigran. Yakni perasaan tidak aman, selalu membutuhkan tempat bernaung, dan melupakan apapun yang bukan nyawa sendiri dan keluarga. Mereka dipaksa meninggalkan tempat kelahiran, terpisah dari kerabat, bahkan harus menghapus identitas mereka untuk bertahan hidup. Mumtaz yang merupakan seorang seniman kelahiran Afghanistan, pernah menjadi imigran di Pakistan, tentu memiliki memori yang lekat dengan karyanya sendiri.“Ingatan saya jelas saat itu ketika pulang sekolah, saya membawa satu notebook kecil dan sesampainya di rumah ibu saya bilang kita akan pergi ke Pakistan. Saya tidak tahu apa-apa dan meninggalkan notebook tersebut di rumah,” jelas Mumtaz.
Afghanistan kala itu di tahun 1999 sedang menghadapi konflik sipil dengan Taliban. Ratusan jiwa terbunuh dan keluarga kecil Mumtaz terpaksa harus mengungsi ke Pakistan. Mereka menempati rumah pengungsian bersama 3 juta imigran lainnya.
Lambat laun, Mumtaz mulai tertarik dengan seni. Sayangnya ia tidak bisa mengambil sekolah seni di Pakistan sebagai imigran, sehingga ia kembali ke Afghanistan untuk mempelajari seni di Kabul University’s Faculty of Fine Art. “Banyak yang bilang saya tidak akan bisa mendapat pekerjaan di bidang seni, padahal ketertarikan saya pada seni sangat kuat,” tambahnya.
Dalam satu waktu, Mumtaz mengunjungi salah satu pernikahan sepupunya di Afghanistan. Ketika ia naik bus dengan membawa kamera di tangannya, orang di sekitarnya mulai panik dan berusaha menyembunyikan kamera Mumtaz. Ternyata saat itu Taliban sedang gencar mencari dan membunuh para jurnalis atau siapapun yang terlihat membawa kamera. Perasaan takut dan trauma tersebut masih diingatnya sampai sekarang.
Mumtaz sempat menjadi seorang ahli IT dan komputer untuk mencari pekerjaan. Memang ia cukup handal dalam bidang tersebut, namun ia merasa tidak mampu menjalaninya lagi karena tidak memiliki tujuan. Ia pun kembali ke bidang seni dan datang ke Indonesia untuk melanjutkan karya-karyanya. “Afghanistan tidak punya tempat seni sebesar Indonesia. Saya senang bisa ke negara ini melanjutkan hobi saya,” tuturnya.
Meskipun kini ia tinggal di Yogyakarta, Mumtaz tetap aktif menyuarakan eksistensi imigran dalam potret seninya. Suzie Handayani, Dosen Antropologi, FIB UGM turut mengapresiasi karya seni Mumtaz yang berhasil menggambarkan pengalaman para imigran melalui sekumpulan potongan memori dan barang peninggalan mereka. Ada kalanya siapapun yang melihat instalasi Mumtaz akan merasakan kesedihan dan trauma yang mendalam.
Menurut Suzie, karya Mumtaz seolah menarik para penikmatnya untuk berada dalam situasi politik yang kelam, tidak adanya jaminan kesejahteraan, hingga pembungkaman. “Saya kagum bagaimana Mumtaz tidak pernah merapikan karyanya, ia membiarkan karyanya berantakan. Menunjukkan perasaan riil dari para imigran,” ucap Suzie.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson