Dalam sejumlah kebudayaan, kaligrafi dipercaya menjadi sebuah media yang menyelaraskan jiwa manusia dan alam semesta sehingga menciptakan pengalaman yang mendalam. Pengalaman inilah yang berusaha dihadirkan dalam Workshop Kaligrafi yang diselenggarakan Rabu (10/7) di Fakultas Filsafat UGM, sebagai bagian dari rangkaian Konferensi AAS-in-Asia 2024.
Peserta konferensi, yaitu para akademisi yang berasal dari berbagai negara di dunia, berkesempatan untuk mempraktikkan langsung seni kaligrafi Jawa, Arab, Cina, dan Korea di dalam empat kelas yang berbeda, dengan bimbingan dari para seniman. “Sebuah pengalaman yang menyenangkan, karena di sela mengikuti pertemuan akademis kita juga bisa mengikuti aktivitas yang menarik seperti ini,” tutur Megan, salah satu peserta konferensi asal Inggris yang mengikuti pelatihan Kaligrafi Jawa.
Workshop ini menghadirkan empat orang seniman kaligrafi untuk mengajar para peserta konferensi. Mereka adalah Kim Jang Hyun, seniman asal Korean; Kashif Khan, seniman kaligrafi Sufi; Wahono Simbah, seniman kaligrafi Jawa; serta Mansheng Wang, pelukis dan seniman kaligrafi Cina.
Masing-masing kelas diikuti belasan peserta, menyesuaikan dengan kapasitas ruangan yang digunakan. Dalam workshop yang berdurasi sekitar 2 jam, para peserta mempelajari huruf-huruf dasar dan berbagai teknik goresan, serta membuat kaligrafi sederhana di kertas khusus yang telah disiapkan.
Melalui pengalaman ini, para peserta juga mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam seni kaligrafi di masing-masing kebudayaan. “Kaligrafi adalah sebuah praktik spiritual, sesuatu yang membantu kita untuk membangun jati diri. Ketika kita berlatih menulis satu huruf demi satu huruf, setiap huruf ini membantu kita bertumbuh dari dalam,” tutur Noman Baig, seorang pengajar dari Habib University Pakistan yang menjadi narasumber dalam sesi diskusi.
Menurut Noman, lewat kaligrafi para peserta diajak untuk mengapresiasi keindahan dan merayakan nilai-nilai kemanusiaan. Hal senada diungkapkan Mansheng Wang, yang dalam kelasnya memaparkan bagaimana kaligrafi mampu menggambarkan keindahan alam seperti halnya dengan lukisan. “Kaligrafi dan lukisan berada dalam rumpun yang sama. Dulu orang memahami bahwa kaligrafi adalah seperti lukisan yang banyak terinspirasi dari alam,” ucapnya.
Kim Jang Hyun mengatakan kaligrafi tidak hanya untuk menawarkan keindahan karya ukir dan gambar sapuan kanvas namun memberikan pesan tentang generasi muda tentang spirit kebahagiaan dan sejarah masa silam. Saat ini seni kaligrafi Korea dimanfaatkan untuk komunikasi media digital untuk mempromosikan sebuah sampul film.
Wahono simbah, pegiat kaligrafi jawa menyampaikan kaligrafi Jawa selalu menggunakan aksara jawa yakni aksara murda, aksara swara dan aksara rekan. Umumnya karya kaligrafi jawa memberikan pesan tentang hubungan antara semesta, tuhan dan manusia sehingga pentingnya menjaga keseimbangan hidup. Namun di era modern sekarang ini kaligrafi jawa memberikan pesan tentang kebahagiaan, keindahan, dan kebaikan. “Semua berangkat dari falsafah Jawa, Memayu Hayuning Bawono mengingatkan kita untuk selalu menjaga bumi selalu tetap indah dan lestari. Sebab semua orang adalah pemimpin untuk menjaga bumi ini dengan baik,” katanya.
Seperti diketahui, workshop kaligrafi yang bertajuk Of Divine Eloquence: Intertwined Conversation in The Language of Islamic, Chinese, Javanese and Korean Calligraphies menjadi salah satu bagian dari kegiatan AAS-in-Asia Conference yang berlangsung pada tanggal 9-11 Juli yang mengumpulkan akademisi dari berbagai negara di dunia yang menekuni kajian-kajian tentang Asia. Selain kelas kaligrafi, sebelumnya juga diselenggarakan pelatihan gamelan. Sesi-sesi khusus ini diselenggarakan untuk menghadirkan pengalaman yang unik bagi para akademisi.
Penulis : Gloria
Editor : Gusti Grehenson