
Seni merupakan buah karya ide dan pikiran seseorang yang dituangkan dalam goresan, lantunan, maupun pementasan. Sejak lama para seniman menuangkan pemikiran-pemikiran seputar isu sosial, ekonomi, dan politik dalam karya seninya. Sebut saja karya Iwan Fals, Pramoedya Ananta Toer, hingga R.A. Kartini. Hasil seni tersebut seringkali membawa narasi kritik dan anarkis terhadap kondisi masyarakat dan politik terkini. “Mereka tidak langsung menunjukkannya secara gamblang. Karya-karya seni mereka dirumuskan dalam bentuk metafora sehingga menjadi lebih menarik,” ujar seniman asal Yogyakarta Hernandes Saranela, yang bertajuk “Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia” pada Jumat (21/3).
Ia menyoroti keunikan setiap seniman dalam menyampaikan gagasannya. Metode kritis menggunakan seni memberikan ruang yang sangat luas pada siapapun yang ingin menyampaikan pendapat, karena seni bisa diciptakan dalam bentuk apapun. “Karenanya, upaya sensor terhadap seni seringkali dikaitkan dengan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri,” katanya.
Namun menurut Hernandes, keberadaan sensor dalam seni tidak semata-mata merupakan ancaman. Sensor bisa menjadi alat untuk mempertajam ide terhadap seni abstrak. Metafora yang disajikan dapat menimbulkan persepsi dan respon yang berbeda pada penikmatnya, dan disanalah letak kebebasan pikir untuk menafsirkan ekspresi dalam seni.
Lebih lanjut, Hernandes menjelaskan bahwa idealnya seniman memiliki kesadaran terhadap dampak dari karyanya. Bukan sebagai bentuk represi terhadap kebebasan, namun upaya agar substansi tetap dapat tersampaikan tanpa harus menghadapi pembredelan. Hal itu membutuhkan daya pikir kreatif dari seniman.
Irham Nur Anshari, Dosen Ilmu Komunikasi UGM menyebutkan, ada pergeseran mekanisme sensor di era digital. Salah satunya adalah kemunculan fenomena techno-surveillance, yakni praktik pengawasan konten publik melalui teknologi digital. Media sosial kini memiliki berbagai fitur untuk menyaring konten-konten sensitif yang terpublikasi. Seperti Instagram yang memiliki kebijakan melarang publikasi terhadap kekerasan, self-harm, kritik menyangkut SARA, dan isu sensitif pada komunitas. Ada juga fitur di media X yang memiliki content warning terhadap sejumlah publikasi sensitif.
Dijelaskan Irham, sensor upaya sensor saat ini tidak hanya dilakukan secara vertikal oleh institusi pemerintah, tapi juga secara horizontal oleh komunitas masyarakat. “Sensor vertikal dan horizontal ini terkadang bisa bermesraan atau, sebaliknya, saling bertentangan,” tuturnya.
Dunia digital menumbuhkan independensi masyarakat yang lebih kuat dalam hal mengatur narasi dan algoritma publik di media sosial. Contohnya ketika seorang seniman berusaha mengkritik pemerintah dengan mewakilkan keresahan masyarakat, ada peluang dukungan horizontal hadir. Tapi di sisi lain, ada ketakutan terhadap ancaman kreativitas yang tercermin dalam self-censorship.
Selain perihal sensor, diskusi juga menyinggung peran relasi komunitas seni lokal dan global, media, hingga festival sebagai ruang alternatif yang memperkuat solidaritas antar-seniman dan menjaga kebebasan berekspresi. Seniman tidak pernah benar-benar bebas dalam berkreasi seni karena terikat norma dan etika. Strategi kolaborasi antara seniman, media, dan komunitas bisa menjadi jalan keluar dalam menyiasati atau melawan sensor.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik