
Komunikasi publik telah menjadi medan ranjau bagi pemerintahan Prabowo-Gibran selama hampir setahun terakhir. Sejak sepuluh bulan lalu, alih-alih meredakan kekhawatiran, beberapa kali pernyataan pejabat negara cenderung menjadi detonator kontroversi. Pernyataan-pernyataan yang kontradiktif, ambigu, dan terkesan tidak sensitif ini menunjukkan adanya krisis dalam pengelolaan pesan elite politik, serta mempertanyakan seberapa jauh kecermatan berbahasa diutamakan dalam lingkaran kekuasaan.
Fenomena tersebut mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi, termasuk pakar komunikasi publik dan strategi media, dari FIsipol UGM, Prof. Nyarwi Ahmad, P.hD. Menurutnya, akar masalah krisis komunikasi ini terletak pada kegagalan pejabat dalam membedakan antara komunikasi yang bersifat persuasif dan yang cenderung berujung pada pemaksaan. “Jadi coercion (pemaksaan) berbeda dengan persuasi,” Jelas Nyarwi dalam Diskusi Komunikasi Magister (Diskoma) Fisipol UGM edisi ke-24 bertajuk “dari retorika Arogansi Menuju Retorika Urgensi”, kamis (25/9), yang disiarkan secara daring.
Nyarwi menjelaskan bahwa persuasi sejatinya adalah proses dialogis yang didukung data dan rasionalitas. Persuasi dilakukan dengan menyampaikan pendapat dengan data, bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku, serta mengajak publik untuk mendiskusikan nilai-nilai yang dianggap perlu untuk mendapat pemahaman baru yang dapat diterima bersama.
Berlawanan dengan prinsip tersebut, Nyarwi menilai tindakan elite politik yang kerap kontroversial sebagai pemaksaan seseorang dengan tidak demokratis. Ia kemudian memberikan contoh menteri yang membalas kritik publik dengan ujaran “kabur ajalah, kalau bisa tidak usah kembali”. Ia menilai perilaku ini sebagai cerminan komunikasi pejabat yang defensif. “Ini menunjukkan bukan solusi dan diskusi yang ditawarkan, melainkan arogansi.” jelasnya.
Ia menyarankan agar pemerintah untuk memperbaiki cara komunikasi publik agar pernyataan yang disampaikan tidak menimbulkan kontroversi atau kegaduhan di masyarakat terutama.
Penyampaian komunikasi publik di kalangan pejabat ini juga menjadi perhatian oleh praktisi komunikasi Dr. Agus Sudibyo. Alumnus Fisipol UGM tersebut menilai bahwa hal ini dikarenakan kaburnya batas pemahaman pejabat terhadap media sosial sebagai ruang publik atau ruang privat. Menanggapi kaburnya etika berkomunikasi tersebut, Agus menyerukan tanggung jawab yang lebih tinggi, tidak hanya bagi pejabat tetapi juga masyarakat. “Dengan standar etika yang kabur, maka pejabat harus menggunakan etika tertinggi untuk komunikasi massa yang mensterilkan dari apriori, insinuasi, intimidasi, dan ujaran kebencian,” pungkasnya
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik