
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa lebih dari setengah juta penerima bantuan sosial (bansos) tercatat bermain judi online (judol) memunculkan kegelisahan publik. Tercatat, total deposit judi online mencapai 571.410 NIK penerima bantuan sosial selama tahun 2024 mencapai Rp 957 miliar dengan 7.5 kali transaksi.
Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanta, menilai fenomena judi online yang menyasar para penerima bantuan Bansos, tak bisa semena-mena mereka untuk disalahkan. Sebab, ia menyebut para penerima bansos justru merupakan korban dari spiral kekerasan negara. “Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya,” ujarnya di Kampus UGM, kamis (10/7)
Ia menjelaskan, fenomena keterlibatan warga miskin dalam judi online harus dilihat sebagai bagian dari dua persoalan besar: ketidaktepatan data bansos dan ketidaksiapan masyarakat digital. Menurutnya, data penerima bansos kerap kali tidak akurat dan digunakan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu. Sementara di sisi lain, banyak warga yang tidak memiliki literasi digital yang memadai, sehingga mudah terjebak dalam aplikasi judi online. “Penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online. Ini fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen memberi penyadaran,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyoroti peran negara yang justru dinilai lalai, bahkan terlibat dalam pembiaran. Widyanta mengkritik keras Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI yang dinilai tidak menjalankan fungsinya untuk melindungi publik dari praktik judi online. Ia menyebut bahwa platform-platform judi online yang beroperasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur kepentingan politik dan ekonomi. “Negara membiarkan bahkan memfasilitasi praktik judi online yang jelas-jelas merugikan rakyat. Seharusnya negara melindungi, bukan mengeksploitasi,” tegasnya.
Dampaknya, kata dia, sangat luas. Widyanta menyebut adanya spiral kekerasan yang bermula dari judi online, lalu berlanjut pada pinjaman online, hingga mendorong masyarakat melakukan tindakan ekstrim seperti menjual aset atau bahkan kekerasan demi melunasi utang. Menanggapi hal ini, ia menekankan bahwa solusi tidak cukup hanya dalam bentuk penindakan.
Menurutnya, negara harus melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan secara sosial dan ekonomi agar tidak hanya menjadi penerima bantuan, tapi juga mandiri. “Jangan jadikan bansos sebagai alat menciptakan ketergantungan. Harus ada pendampingan dan pemberdayaan agar masyarakat bisa bangkit, punya usaha, dan tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan,” jelasnya.
Ia berpesan bahwa kelompok warga miskin bukanlah pelaku utama dalam masalah ini, melainkan korban dari sistem yang tidak berpihak. “Jangan salahkan mereka. Yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah negara yang gagal melindungi,” pungkasnya.
Penulis : Rafif Rusmana
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Alodokter