
Polemik seputar uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Konstitusi kembali memunculkan perdebatan publik. Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan, menilai kedua pasal tersebut perlu direvisi karena membuat keliru arah pemberantasan korupsi, menyebabkan ketidakpastian hukum, kriminalisasi dan politisasi.
Menanggapi hal itu, pakar hukum pidana UGM, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., menegaskan bahwa pasal tersebut harus tetap dipertahankan, tetapi dengan tafsir yang lebih jelas dan tegas. Menurut Akbar, amicus curiae adalah pandangan hukum yang diberikan kepada hakim MK untuk membantu pertimbangan dalam memutus kasus. “Hakim dapat mempertimbangkan amicus curiae sebagai pencerahan, tetapi keputusan tetap berada di tangan hakim. Dalam konteks Pasal 2 dan 3, saya melihat pasalnya perlu dipertahankan, bukan dihapus, agar pemberantasan korupsi tidak lumpuh,” jelasnya, Kamis (4/9).
Akbar menekankan perlunya batasan tafsir yang tegas. Unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 dan 3, menurut Akbar, seharusnya merujuk pada tindak pidana yang sudah jelas diatur dalam Pasal 5 hingga 13 UU Tipikor, seperti suap atau penggelapan jabatan. Dengan begitu, Pasal 2 dan 3 berfungsi sebagai pemberatan hukuman. “Kalau tafsirnya tetap dibiarkan umum, akan ada risiko kriminalisasi. Karena itu hakim harus mempersempit tafsir, bahkan sebaiknya pasalnya juga diubah agar tidak multitafsir,” ujarnya.
Namun begitu, Akbar tidak setuju apabila hakim MK menghapus Pasal 2 dan 3 justru akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Di sisi lain, membiarkan pasal itu tanpa batasan tafsir akan menimbulkan ketidakadilan. Jalan tengahnya, menurut dia, adalah mempertahankan pasal dengan memperjelas substansi serta membatasi penerapannya. “Pasal ini sangat penting untuk menjangkau bentuk-bentuk korupsi yang serius. Tetapi harus dipastikan penerapannya. Intinya, harus ada kepastian hukum yang melindungi masyarakat sekaligus memperkuat pemberantasan korupsi,” pungkasnya.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik