Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang sedang berkembang pada saat ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri bagi manusia. Situasi tersebut bahkan mengacu pada kemungkinan buruk sehingga dilihat sebagai sesuatu yang harus menjadi perhatian serius. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 38-51 persen dari para ahli yang menilai peluang minimal 10 persen bahwa AI tingkat lanjut dapat menimbulkan konsekuensi bencana bagi manusia. Survei itu disampaikan oleh Katja Grace (Pendiri AI Impacts) dan timnya di dalam “Thousands of AI Authors on the Future of AI”.
Dekan Fakultas Filsafat, Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, M.Hum., menuturkan rasa khawatir yang muncul para ahli dan ilmuwan seiring dengan perkembangan AI yang semakin tidak terbendung ini adalah sesuatu yang wajar. “Tetapi, sesungguhnya kalau kita merefleksikan, itu adalah cerminan dari manusia yang sebenarnya memiliki kekuatan-kekuatan tersembunyi yang yang kalau bisa kita kelola dengan baik, itu akan melahirkan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, termasuk perkembangan teknologi yang kemudian kita sebut dengan AI,” ujarnya, Senin (10/11).
Menurutnya, beberapa hal yang bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman soal cara kerja teknologi, terlebih manusia di sini adalah pembuat dari teknologi itu sendiri. Kemudian, melakukan mitigasi risiko, menyiapkan, serta mengelola berbagai macam hal yang perlu dilakukan, baik dari tingkat literasi sampai regulasi. “Memahami betul itu kan termasuk juga memikirkan konsekuensi atau aspek-aspek yang dimunculkan oleh teknologi yang kita ciptakan, baik yang positif maupun negatif,” tuturnya.
Ia berkeyakinan bahwa media paling efektif dalam mengantisipasi ancaman AI adalah pendidikan. Pendidikan memberikan basis, membekali kita fondasi etis dan fondasi moral untuk kemudian manusia menciptakan, membuat, dan mengembangkan teknologi.
Sebab, ketika generasi anak-anak yang langsung dikenalkan pada teknologi dan tanpa turut serta dari dunia organik bisa berdampak negatif. Menurut Siti, tumbuh kembang secara biologis itu diperlukan sebagai manusia yang organik, bukan manusia yang secara keseluruhan jiwa raganya terkena terpaan teknologi.
Bagi Siti, teknologi AI ini basisnya tetaplah hasil kemajuan inovasi hari ini dan kemarin. Selain itu, prompt atau instruksi pertanyaan untuk AI yang diberikan berbeda-beda tergantung dari setiap manusia. “Kita ini adalah manusia yang akalnya tidak terbatas. Sementara, teknologi AI ini pikirannya hanya dari hari ini dan kemarin atau sesuai dengan yang kita masukkan,” terangnya.
Dari sudut pandang Siti, rasa khawatir adalah hal yang memang wajar. Akan tetapi, kita dapat mengatasi rasa khawatir tersebut dan mulai untuk berpikir kreatif tentang untuk kemudian menempatkan atau memberlakukan teknologi AI ini sebagai mitra kawan kolaboratif. “Selalu bijaklah hidup di tengah teknologi AI dan bermitralah dengan sehat sebagai pengguna ataupun pembuat,” pungkasnya.
Penulis : Alena Damaris
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik
