
Pemerintah berencana memulai program pemberian bantuan sosial (bansos) digital. Untuk sementara, program ini akan diuji coba di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Program ini diklaim mampu menghemat anggaran negara hingga Rp 14 triliun per tahun sekaligus meningkatkan transparansi dan ketepatan sasaran penyaluran bansos.
Menanggapi rencana adanya bansos digital ini, Ekonom UGM Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D., menilai digitalisasi bansos merupakan langkah maju dalam memperkuat sistem perlindungan sosial Indonesia. Digitalisasi akan menekan biaya administrasi, memastikan bantuan tersalurkan dengan jumlah yang tepat, lebih cepat, dan lebih transparan.
Menurutnya, digitalisasi bansos bukanlah hal baru. Pemerintah sebelumnya telah meluncurkan berbagai inisiatif seperti Kartu Perlindungan Sosial (KPS/KKS) hingga Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Rencana 2025 ini diharapkan dapat menyempurnakan berbagai persoalan yang teridentifikasi di era pemerintahan sebelumnya. Ia juga menilai penunjukan Banyuwangi sebagai lokasi uji coba masuk akal, namun tidak dapat dianggap sebagai representasi nasional. “Banyuwangi relatif memiliki infrastruktur digital yang lebih baik dibandingkan daerah 3T seperti NTT, Papua, atau Kalimantan pedalaman. Maka keberhasilan di Banyuwangi belum otomatis mencerminkan kesiapan Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya, Rabu (3/9).
Wisnu juga menyoroti sejumlah tantangan dalam pelaksanaan penyaluran bansos digital. Kesenjangan infrastruktur digital di wilayah 3T, keterbatasan literasi digital masyarakat miskin, akurasi data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan Registrasi Sosial Ekonomi, serta risiko eksklusi akibat otentikasi berbasis biometrik dinilai perlu mendapat perhatian serius. “Tantangan ini harus diantisipasi agar digitalisasi bansos tidak justru menyulitkan masyarakat miskin yang seharusnya menerima bantuan,” imbuhnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, ia menekankan empat langkah penting. Pertama, melakukan percepatan pemerataan infrastruktur internet termasuk dukungan mode offline/low-bandwidth. Kedua, pendampingan masyarakat melalui agen lokal dan literasi digital. Ketiga, integrasi data bansos lintas kementerian agar lebih akurat. Keempat, transparansi publik melalui dashboard real-time dan kanal pengaduan yang mudah diakses. “Bansos digital hanya akan efektif bila ditopang data yang mutakhir, infrastruktur yang memadai, serta pendampingan langsung bagi masyarakat,” jelasnya.
Lebih jauh, ia berharap program bansos digital tidak hanya memperkuat efisiensi anggaran, tetapi juga meningkatkan inklusi keuangan masyarakat miskin. Sebab, jika program ini mampu berjalan dengan baik dan efektif makan digitalisasi akan mempercepat pencairan, memangkas kebocoran, dan meningkatkan kepuasan penerima. “Bahkan bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat miskin ke layanan keuangan formal. Dengan begitu, bansos digital bukan hanya instrumen jangka pendek, tetapi juga sarana menuju kesejahteraan jangka panjang,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik