
Rentetan kasus keracunan makanan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di berbagai daerah. Di Cianjur, puluhan siswa dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami gejala pusing, mual, dan muntah setelah menyantap makanan MBG. Hal serupa juga terjadi di Bombana, Sulawesi Tenggara. Kepala Dinas Kesehatan setempat bahkan telah menyatakan keracunan massal berasal dari kualitas ayam yang sudah busuk yang terdapat dalam menu MBG. Sementara itu di Bandung, tercatat 342 siswa mengalami gejala keracunan yang sama. Beruntungnya tidak ada siswa yang sampai harus dirawat di rumah sakit. Terbaru di Tasikmalaya, sebanyak 24 siswa menjalani pemeriksaan akibat keracunan makanan, delapan diantaranya harus dirawat inap, dan satu siswa dirujuk ke rumah sakit. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa sistem distribusi makanan dalam skala besar memerlukan pengawasan ketat, terutama pada aspek penyimpanan dan kebersihan. Perhatian terhadap detail kecil seperti suhu penyajian dan sanitasi dapur bisa berdampak besar dalam mencegah kejadian serupa.
Menanggapi kasus ini, Leiyla Elvizahro, S.Gz., dietisien dari Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada, menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda makanan yang sudah basi atau tidak higienis. Ia menjelaskan bahwa makanan basi sering kali dapat dikenali melalui perubahan bau, tekstur, dan warna. Leiyla menghimbau agar masyarakat membiasakan diri untuk mencium aroma makanan terlebih dahulu sebelum mengonsumsinya. Deteksi dini lewat pancaindra sering kali cukup untuk mencegah konsumsi makanan yang beresiko. “Makanan seperti nasi, mie, dan lontong yang kaya karbohidrat akan mudah basi jika disimpan terlalu lama di suhu ruang. Tanda-tandanya antara lain berbau asam, berlendir, atau muncul jamur,” jelas Leiyla.
Keracunan massal dalam kasus MBG diduga kuat terkait dengan buruknya penanganan makanan, terutama dalam aspek penyimpanan dan distribusi. Leiyla menggarisbawahi bahwa makanan yang disajikan dalam jumlah besar harus memenuhi standar higienitas yang ketat, termasuk pemakaian penutup makanan, penyimpanan di suhu yang tepat, serta kebersihan alat dan tenaga penyaji. Faktor lain yang tak kalah penting adalah waktu antara proses masak dan konsumsi, semakin lama jedanya, semakin tinggi potensi kontaminasi. Oleh karena itu, penting bagi panitia penyelenggara acara untuk memastikan distribusi makanan dilakukan secara cepat dan efisien. “Kalau makanan disimpan lebih dari empat jam tanpa penghangat atau pendingin, risiko pertumbuhan bakteri akan meningkat drastis,” tambahnya.
Makanan berbahan dasar daging, ikan, dan produk susu menjadi kelompok yang paling rentan. Tanda-tanda kerusakan pada olahan daging misalnya bisa dikenali dari bau amis menyengat, warna kehijauan, serta tekstur yang berlendir. Sementara susu yang sudah basi akan menggumpal dan mengeluarkan bau asam tajam. Jika dikonsumsi, makanan ini bisa menyebabkan infeksi saluran cerna dan dehidrasi berat. Leiyla menambahkan bahwa bahan pangan hewani harus disimpan di suhu dingin dan dimasak dengan suhu cukup tinggi untuk membunuh bakteri patogen. “Kalau sayur dan buah yang busuk dapat dilihat dari bentuknya yang layu, lembek, atau berlendir. Kulit buah juga mengkerut serta timbul jamur berwarna putih atau hijau,” ujar Leiyla.
Leiyla juga menekankan bahwa masyarakat perlu waspada terhadap makanan yang disajikan terbuka, dikerumuni lalat, atau ditangani oleh petugas yang tidak menggunakan sarung tangan.Ia menyarankan agar pemerintah lebih selektif memilih tempat makan atau katering, khususnya untuk kegiatan besar.Kredibilitas penyedia makanan bisa menjadi indikator awal apakah proses pengolahan mereka mengikuti standar keamanan pangan. “Kondisi dapur dan alat masak pun harus menjadi perhatian.Jangan ragu untuk mempertanyakan kebersihan makanan, apalagi jika dikonsumsi bersama-sama dalam jumlah besar,” tuturnya.
Ia menjelaskan sebagai langkah awal bila terlanjur mengonsumsi makanan yang mencurigakan, masyarakat dihimbau tidak panik namun segera mengamati gejala yang muncul. Jika mengalami muntah, diare lebih dari tiga kali sehari, atau demam, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Leiyla menyarankan untuk banyak minum air putih guna mencegah dehidrasi dan membantu proses detoksifikasi alami tubuh. Bila gejala tak membaik dalam 24 jam, segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat untuk penanganan lanjutan. “Kita juga bisa mengonsumsi probiotik seperti yoghurt, kefir, atau suplemen untuk membantu menyeimbangkan mikrobiota usus yang terganggu,” jelasnya.
Kasus keracunan MBG seharusnya menjadi pembelajaran bersama bahwa keamanan makanan bukan sekadar urusan dapur, tapi tanggung jawab semua pihak, terutama dalam kegiatan publik yang melibatkan konsumsi massal. Edukasi tentang ciri makanan basi dan pentingnya higienitas sejak dini akan sangat membantu mencegah kejadian serupa di masa depan. Pemerintah dan pihak penyedia MBG perlu membuat standar operasional yang jelas mengenai pengadaan makanan. “Yang paling penting sekarang, justru literasi pangan sehat harus menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat agar tidak mudah menjadi korban dari kelalaian pihak lain,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Antara