
Pemerintah dan DPR berencana menaikkan dana bantuan keuangan partai politik dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara menuai respons publik. Baik yang pro maupun kontra terhadap usulan tersebut. Salah satu pendapat datang dari Alfath Bagus Panuntun, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, yang menyambut positif rencana tersebut, namun memberi sejumlah catatan kritis.
Menurut Alfath, kebijakan peningkatan dana bantuan partai politik (Banpol) merupakan langkah positif selama disertai dengan reformasi tata kelola dan mekanisme pengawasan yang ketat. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BRIN, ia menyebut bahwa saat ini kontribusi banpol dari negara hanya mencakup 1,5% dari total kebutuhan minimal partai yang membuat parpol sangat bergantung pada keluarga pendiri dan oligarki. “Situasi ini jelas membuka peluang politik transaksional yang mengaburkan orientasi pelayanan publik,” ujarnya, Rabu (30/7) di Kampus UGM.
Alfath menekankan bahwa peningkatan dana harus dibersamai pengurangan anggaran dan hak keistimewaan bagi pejabat publik serta peningkatan kualitas perekrutan kader. Ia menyebut pentingnya mendorong politisi yang bukan hanya berorientasi kekuasaan dan materi, tetapi juga memiliki motivasi pelayanan dan etika publik yang kuat.
Menanggapi lemahnya sistem pelaporan dana partai saat ini, ia menyebut bahwa pelaporan selama ini cenderung ‘wajar tanpa pemeriksaan’. Untuk itu, ia mendorong pelaksanaan audit sosial sebagai langkah konkret mengawal transparansi dan akuntabilitas. Menurutnya, KPU dan Bawaslu bisa memfasilitasi forum tahunan terbuka, di mana partai politik wajib mempresentasikan penggunaan dana mereka di hadapan publik, termasuk LSM, akademisi, dan jurnalis. “Laporan ini harus dipublikasikan di website resmi mereka agar rakyat tahu ke mana uang negara digunakan,” tegasnya.
Mengenai penggunaan dana diperuntukan untuk pendidikan politik, Alfath menilai perlu adanya indikator keberhasilan. Salah satunya, kualitas perdebatan publik baik di ruang nyata maupun maya. “Jika yang diperdebatkan adalah isu-isu publik secara kritis, maka edukasi politik bisa dikatakan berjalan” jelasnya.
Ia juga menyarankan adanya revisi terhadap undang-undang pemilu dan partai politik, serta perbaikan dalam manajemen internal partai agar dana yang lebih besar tidak menjadi ajang pembagian keuntungan bagi elite. Ia menegaskan bahwa tanpa sistem yang sehat, dana besar justru berpotensi memperburuk praktik korupsi politik.
Alfath menutup wawancara dengan penekanan bahwa publik harus dilibatkan dalam proses demokrasi. Ia menyatakan bahwa demokrasi tidak seharusnya dikelola secara eksklusif, dan rakyat perlu diberi ruang untuk mengawasi jalannya pemerintahan sebagai syarat mutlak bagi tegaknya demokrasi yang sehat.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : CNNIndonesia