
Pemerintah berencana akan menaikan kualitas pelayanan kesehatan RSUD di 66 kabupaten/kota terpencil dan terbelakang dari Tipe D menjadi Tipe C untuk memastikan layanan kesehatan yang lebih merata dan berkualitas. Selain meningkatkan kapasitas rumah sakit daerah, program ini diharapkan mampu menjangkau warga dengan layanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Menanggapi rencana pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Pradhikna Yunik Nurhayati, S.I.P, MPA, menanggapi positif rencana tersebut namun ia menyampaikan setidaknya ada tiga hal yang patut dipertimbangkan dalam mengakselerasi layanan kesehatan publik. Pertama, soal aspek ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan itu sendiri, seperti rumah sakit, tenaga medis, dan obat-obatan. “Kurangnya tenaga medis tidak serta merta disebabkan karena minimnya SDM, namun juga kondisi fasilitas dan rumah sakit daerah yang belum memadai,” kata Yunik, rabu (9/4).
Kedua, aspek aksesibilitas dengan memastikan ketersediaan fasilitas dan layanan dapat dijangkau oleh masyarakat. Lalu juga affordability artinya masyarakat mampu membayar layanan tersebut. Tentunya strategi yang dilakukan tidak selalu memberikan pelayanan kesehatan yang murah, namun bisa juga dengan skema jaminan kesehatan seperti BPJS atau asuransi jiwa. “Kalau kita melihat bahwa permasalahannya bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga harus ada political will yang kuat. Komitmen dari kepala daerah atau pemegang kewenangan untuk mengambil keputusan,” ujarnya.
Yunik menegaskan, proses pengambilan kebijakan atau keputusan perlu melibatkan unsur pengkajian ilmiah di samping komitmen politik. Ia mengapresiasi upaya pemerintah dari tahun ke tahun untuk mengedepankan akses layanan fasilitas kesehatan. Kendati demikian, upaya tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan adanya upaya partisipatif dari berbagai pihak, termasuk swasta. “Penting melihat problem di lapangan dalam suatu permasalahan. Menyelesaikannya pun dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan,” tutur Yunik.
Lebih lanjut, Yunik memandang bahwa kesehatan merupakan isu yang kompleks. Selain menjamin ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan, pemerintah perlu mendorong agenda-agenda lain yang memprioritaskan isu kesehatan. Salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya memandang kesehatan sebagai sesuatu yang tumbuh dari kebiasaan sehari-hari. “Terlepas dari kemampuan ekonomi, masyarakat masih perlu diedukasi untuk menentukan mana kebiasaan atau perilaku yang baik untuk kesehatan,” tambah Yunik.
Dilihat dari sisi lingkungan sosial dan ekonomi, perilaku hidup sehat bisa tercermin dari lingkungan bersih dan sehat. Hal ini perlu diupayakan secara kolektif oleh masyarakat, misalnya dengan membangun komitmen hidup bersih bersama, mengelola sampah, dan tidak mencemari lingkungan. Sama halnya dengan menjaga pola makan. Dalam menjaga gizi seimbang, tidak selalu mengandalkan bahan pangan yang mahal. Buah, sayuran, umbi-umbian, hingga olahan kedelai bisa menjadi opsi yang terjangkau dengan kandungan gizi dan nutrisi yang baik. “Menjaga kesehatan tidak hanya kuratif saja, tapi juga preventif dan promotif. Kita butuh bagaimana caranya mencegah, karena biaya kesehatan itu akan jauh lebih mahal jika semakin parah penyakitnya,” katanya.
Untuk mendorong upaya-upaya program preventif dan promotif tersebut tersebut, diperlukan kolaborasi lintas sektor yang kuat. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor kesehatan perlu melibatkan lebih banyak pihak guna memperkuat komitmen terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat melalui kesehatan.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik