Pemerintah berencana membuat panitia khusus untuk seleksi bersama Program Pendidikan Dokter Spesialis/Sub Spesialis (PPDS) untuk meningkatkan transparansi dan pemerataan dokter spesialis nasional. Kebijakan ini didasarkan pada kesepakatan antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bersama Kementerian Kesehatan RI. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D memberikan tanggapan positif mengenai langkah tersebut pemerintah tersebut. “Tentunya kami di UGM menyambut baik kebijakan tersebut. Kalau saat ini masih dalam proses pembentukan tim, mudah-mudahan ada kolaborasi sinkron dan harmonis,” tutur Hamim, Jumat (7/2).
Rancangan untuk melakukan proses seleksi bersama ini diakui Hamim sebenarnya tidak mudah dan masih memerlukan berbagai perencanaan. Oleh karena itu, FK-KMK UGM sendiri masih menunggu perintah resmi mengenai seleksi bersama, sehingga penerimaan PPDS di bulan Maret mendatang yang masih menggunakan skema di masing-masing universitas.
Kebijakan seleksi bersama PPDS ditujukan untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis sekaligus pemasarannya di seluruh daerah Indonesia. Upaya ini sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2022 melalui beberapa program, seperti peningkatan kuota mahasiswa program sarjana dan dokter spesialis, serta penambahan program studi. Sampai saat ini, program dokter spesialis dan subspesialis telah menghasilkan 4.000 lulusan setiap tahunnya. Sayangnya, angka tersebut masih belum mencukupi kebutuhan dokter spesialis di sejumlah daerah. “Masalah pemerataan ini cukup kompleks ya. Bukan hanya PPDS, tapi bagaimana membuat dokter-dokter spesialis mau bekerja di daerah,” terang Hamim.
Kebijakan yang diberlakukan untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis ini adalah penerimaan program melalui jalur afirmasi. Setiap daerah memiliki minimal kuota 10% yang diprioritaskan pada jalur afirmasi dokter spesialis. “Hal ini ditujukan agar nantinya setelah lulus, mereka bisa kembali bekerja di daerah asal,” paparnya.
Sayangnya, menurut Hamim, kebijakan tersebut belum sepenuhnya mengatasi masalah kekurangan dokter spesialis. Hamim menambahkan, mayoritas dokter setelah lulus dan bekerja beberapa tahun di daerah, umumnya akan melanjutkan bekerja di kota. Rendahnya tingkat retensi (mempertahankan) dokter spesialis ini disebabkan oleh banyak faktor, termasuk aspek sarana dan prasarana, insentif, hingga keamanan. “Banyak yang tidak betah bekerja di daerah karena kesulitan akses, minim insentif, dan ancaman keamanan. Padahal aspek tersebut sangat penting agar dokter bisa bekerja dengan maksimal,” pungkas Hamim.
Hamim menyarankan agar pemerintah bisa ikut mempertimbangkan jaminan keamanan dan kelengkapan medis di layanan kesehatan daerah. Mengenai alur dan aspek kompetensi yang diuji dalam PPDS, Hamim memberikan masukan agar menambahkan penilaian lain di luar pengetahuan umum. Menurutnya, penting bagi dokter agar memiliki stabilitas kesehatan mental yang baik dalam menangani pasien. “Saya kira perlu ditambahkan misalnya tes untuk menguji kesehatan mental, sikap, jadi tidak hanya kompetensi dasar saja. Itu penting,” tambah Hamim.
Hamim juga merekomendasikan jalur penerimaan PPDS dalam dua skema, yakni seleksi bersama dan mandiri. Alih-alih mengganti sistem yang sudah berjalan, akan lebih mudah untuk menambahkan jalur penerimaan baru. “Karena saat ini pun masih banyak universitas yang perlu berupaya untuk membuka program studi baru khusus untuk dokter spesialis/subspesialis,” tuturnya.
FK-KMK UGM sendiri, kata hamim, mendukung pembukaan pendidikan spesialis dan subspesialis di beberapa universitas. Beberapa di antaranya, UGM membantu pembukaan program studi neurologi di Universitas Jenderal Soedirman dan program studi penyakit dalam di Universitas Islam Sultan Agung. “Kami di FK-KMK UGM ini juga membantu beberapa universitas untuk membuka program dokter spesialis. Agar upaya ini bisa dilakukan bersama-sama,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik