
Geliat usulan pembentukan daerah istimewa maupun daerah otorita baru di Indonesia menuai sorotan dari masyarakat maupun perbincangan di kalangan anggota legislatif. Soal usulan pembentukan daerah istimewa baru dan daerah otorita ini sebaiknya perlu untuk ditinjau lebih mendalam sebab usulan semacan ini tidak sepenuhnya untuk kepentingan menjalankan pemerintah supaya lebih efektif dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun sebaliknya usulan tersebut kemungkinan hanya sekedar memenuhi kepentingan elit yang ingin berkuasa.
Pakar Politik dan Pemerintahan dari Fisipol UGM Dr. Abdul Gaffar Karim menilai setiap kebijakan pemerintahan, termasuk pembentukan daerah baru, sebaiknya harus berpijak pada tujuan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika tujuannya bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat maka usulan tersebut diabaikan saja. “Apapun langkah yang mau dilakukan, ini mendukung upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat atau tidak? Kalau tidak, tidak perlu dilakukan,” ujarnya, Sabtu (3/5) di Kampus UGM.
Gaffar menyebut salah satu kunci tercapainya kesejahteraan adalah pemerintahan yang efektif. Menurutnya, pembentukan daerah istimewa atau otorita baru hanya akan berguna jika benar-benar mampu mendorong efektivitas pemerintahan. “Kalau sekadar untuk memudahkan sirkulasi elit dan mengatur kekuasaan, menurut saya tidak ada gunanya,” tegasnya.
Di sisi lain, Gaffar mengingatkan potensi risiko jika pembentukan daerah baru hanya dijadikan kendaraan politik elit. Ia mencontohkan pengalaman pemekaran daerah yang justru membengkakkan biaya pemerintahan dan membuka peluang korupsi. “Yang terjadi nanti rakyat tidak kunjung sejahtera, malah elit politik yang sejahtera. Ketimpangan sosial malah makin lebar,” tegasnya.
Bahkan Gaffar turut menanggapi argumen yang menyebut daerah bekas kerajaan layak diangkat menjadi daerah istimewa, menurutnya argumen tersebut tidak cukup kuat. Selain dari sisi historis, urgensinya juga perlu diperhatikan. Ia mencontohkan hanya DIY yang memiliki struktur pemerintahan kerajaan yang masih utuh hingga kini, mulai dari raja, istana, wilayah, sistem politik, prajurit, dan lain sebagainya. “Kalau daerah lain, tinggal sejarahnya saja. Struktur pemerintahannya sudah tidak lengkap. Jadi argumen itu sangat lemah,” katanya.
Ia menyoroti fenomena daerah istimewa di Indonesia selama ini lahir karena faktor sejarah khusus dan urgensi, seperti DIY dengan perannya dalam kemerdekaan, Aceh dengan sejarah konfliknya, atau DKI Jakarta dengan status ibu kota negara. Daerah-daerah tersebut diberikan kewenangan khusus, seperti fleksibilitas urusan pertanahan di DIY, legalnya partai lokal di Aceh, hingga spesialnya tata kelola kabupaten/kota di DKI Jakarta.
Gaffar memaparkan bahwa secara umum Indonesia justru menganut sistem pemerintahan daerah yang seragam, meski kondisi sosial-budaya tiap daerah sangat beragam. Ia menilai negara semestinya merancang sistem otonomi daerah yang asimetris. Artinya, tiap daerah diberi keleluasaan untuk mengelola pemerintahan sesuai karakteristik masing-masing. Ia mendorong agar pemerintah berhenti menggunakan pendekatan parsial dan tambal sulam dalam menata daerah. “Kalau otonomi daerah tidak seragam, setiap daerah jadi istimewa. Tidak perlu lagi pembicaraan soal daerah khusus,” imbuhnya.
Sebaliknya, Gaffar menyarankan agar pemerintah perlu membuat desain besar yang menyeluruh untuk sistem pemerintahan daerah di Indonesia. “Kalau memang mau dibuat rancangan yang lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pikirkan keseluruhan daerah. Buatlah rancangan yang tidak seragam dan yang tidak simetris,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara