
Polemik judi online masih terus menghantui masyarakat. Dugaan keterlibatan politikus Indonesia dalam jaringan judi online yang berpusat di Kamboja memunculkan berbagai kontroversi, termasuk pertanyaan mengenai komitmen negara bahkan dianggap gagal dalam memberantas judi online atau sering disingkat judol ini yang kian marak dan menyasar masyarakat kelas bawah.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta, S.Sos., M.,A. menjelaskan alasan mengapa judi online terus berkembang pesat di tengah situasi lesunya ekonomi di tanah air.“Sejak era teknologi digital ini masuk, judi online ini bagian dari tantangannya. Sebuah sistem yang dibuat dengan gamifikasi, sehingga memunculkan rasa senang dan kenikmatan sehingga orang akan terus bermain,” ujar Widyanta, Selasa (22/4), di Kampus UGM.
Menurutnya, banyak orang yang belum menyadari bahwa kalah atau menang dalam judi online bukan soal peruntungan, namun merupakan bagian dari sistem yang mengatur dan memunculkan rasa kecanduan. Pada akhirnya, sistem tersebut sudah didesain untuk memberikan untung bagi korporasi.Ditambah kemudahan akses dan simplifikasi pada sistem judi online juga menjadi faktor terbesar seseorang terjerat di dalamnya.
Disampaikan Widyanta, ekosistem digital sangat mendukung aksesibilitas judi online, seperti tautan mobile banking atau layanan top-up dan juga pinjaman online. Sistem digital memungkinkan layanan-layanan tersebut saling terhubung sehingga korban dapat menyalurkan uang hanya dengan beberapa kali sentuhan di layar gawai. “Lingkaran setan itu saling terhubung, korban jadi sulit punya kontrol atas hawa nafsu dan kecanduan mereka,” terang Widyanta.
Indonesia dengan jumlah populasi mencapai 284 juta jiwa tentu merupakan pasar yang empuk bagi korporasi judi online. Apalagi berdasarkan data, jumlah pengguna internet terus naik setiap tahunnya. Menurut Widyanta, bisa jadi fenomena judi online juga dimanfaatkan dalam technopolitics sebagai alat intervensi atau eksploitasi politik. “Polemik judi online bukan masalah yang mengakar kuat pada satu sektor tertentu, melainkan sudah menjaring di berbagai sektor, saling terhubung, dan sulit ditangani,” ujarnya.
Menanggapi isu keterlibatan politikus Indonesia dalam jaringan judi online, Widyanta mengakui bahwa bukan rahasia lagi jika siapapun bisa terlibat dalam sistem judi online ini. Judi online menyasar tanpa pandang bulu, tidak terpaku pada status ekonomi, jabatan, kewarganegaraan, siapapun bisa terjerat dalam sistem sebagai korban maupun pelaku. “Tidak aneh juga jika pejabat publik terlibat atau ada afiliasi partai politik tertentu. Ini menunjukkan bahwa negara tidak tunggal, pejabat sendiri bisa ambil bagian,” papar Widyanta.
Widyanta menyayangkan jika pemerintah tidak menunjukkan komitmen pada penanganan dan pemberantasan judi online secara nyata. Widyanta menyebut, belum ada instrumen hukum dan lembaga yang kuat untuk menangani judi online. Secara kapasitas, kompetensi, dan pengetahuan, pemerintah bahkan belum mampu menghadapi tantangan perkembangan teknologi digital. “Saya bisa katakan, negara tidak hadir dalam hal melindungi hak-hak kewarganegaraan. Terlebih soal perlindungan data pribadi, upaya pemerintah sangat kurang. Kita jadi negara yang tidak siap,” tegasnya.
Kendati demikian, masih ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan. Pertama, pentingnya meningkatkan kesadaran mengenai teknologi digital (digital awareness). Paling tidak masyarakat memiliki pemahaman terhadap sistem digital sehingga dapat terhindar dari berbagai sisi negatifnya, termasuk judi online. Ancaman terbesar judi online adalah membuat korban bertaruh dengan senang hati, bahkan tanpa menyadari dirinya telah terjebak di dalam sistem. Kedua, pemerintah perlu menegaskan regulasi terhadap ruang digital, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi. Poin ini merujuk pada kewenangan negara untuk mengatur korporasi digital beroperasi di Indonesia dengan melibatkan data pribadi.
Ketiga, upaya penegakkan hukum yang perlu diperbaiki. Tidak hanya masalah judi online, hukum yang lemah akan menghambat berbagai upaya membasmi korupsi, nepotisme, dan masalah lainnya. “Lagi-lagi seringkali kita melihat hukum selalu runcing ke bawah. Banyak kasus menunjukkan pelemahan terhadap instrumen dan lembaga hukum,” pungkas Widyanta.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Berita Satu