Ramai pemberitaan istri seorang komika Bintang Emon dinyatakan positif pada tes narkoba, padahal dia tidak menggunakan narkoba. Ia memang mengaku baru saja mengkonsumsi obat flu. Pemberitaan pun viral, dan banyak media kemudian menanyakan, apakah obat flu tersebut mengandung narkoba? Apakah berbahaya, dan seterusnya.
Guru Besar sekaligus pakar farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Zullies Ikawati menjelaskan persoalan ini. Menurutnya melakukan tes urin untuk mendeteksi narkoba hal penting untuk dilakukan.
Dengan melakukan tes ini, dia menjelaskan ada beberapa senyawa yang bisa diperiksa, diantaranya THC (Ganja), MET (Methaphetamine), AMP (Amphetamine), MOP (Morphine), BZO (Benzodiazepin), COC (Cocain), dan DOMA (Carisoprodol). Pengukuran senyawa-senyawa tersebut dalam sampel urin dapat dilakukan dengan beberapa metoda analisis, dan yang paling sering digunakan adalah dengan teknik immunoassay dan kromatografi, atau jika bisa digabung menjadi imunokromatografi.
Uji tes dengan teknik ini relatif cepat dan mudah. Kit Imunokromatografi merupakan strip uji yang berbasis pada imunokromatografi, dari hasil ikatan antigen-antibodi yang sudah diberi label dengan pewarna tertentu sehinga dapat dilihat tanpa memerlukan alat khusus dan personel dengan keahlian khusus.
“Sekali lagi uji dengan kit imunokromatografi ini menjadi uji yang cepat, murah, mudah, dan relatif akurat. Dengan metode ini, dapat dilakukan deteksi zat narkoba atau metabolitnya. Tes immunoassay sebenarnya cukup sensitif dan spesifik untuk zat tertentu, namun bisa juga rentan terhadap hasil positif palsu karena dapat terjadi reaksi silang dengan zat lain yang mirip struktur kimianya,” ujar Zullies Ikawati, di Fakultas Farmasi UGM, Kamis (2/5).
Lebih lanjut, Zullies menjelaskan beberapa obat yang legal dan umum digunakan ternyata menyebabkan hasil positif palsu pada tes urin narkoba menggunakan metode immunoassay karena struktur kimia mereka yang mirip dengan zat terlarang. Pada beberapa pemberitaan kasus istri Bintang Emon, disebutkan bila obat yang dikonsumsi adalah obat flu yaitu Nalgestan dan Actifed.
Obat-obat flu ini mengandung obat pelega hidung tersumbat yaitu fenilpropanolamin dan pseudoefedrin, dan obat antialergi klorfeniramin maleat dan triprolidin, serta obat batuk dekstrometorfan. Obat-obat ini sebagian tergolong senyawa amin yang memiliki kemiripan struktur dengan beberapa obat golongan narkoba.
“Jadi tidak mengherankan jika menghasilkan positif palsu pada pemeriksaan narkoba,” katanya.
Berikut adalah beberapa contoh obat lain yang diketahui bisa mengakibatkan hasil positif palsu dalam situasi tertentu Obat Penghilang Rasa Sakit dan Anti-Inflamasi, Ibuprofen bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk mariyuana/ganja (THC). Naproxen (Aleve) juga bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk THC.
Pada obat Batuk dan Pilek, diantaranya adanya kandungan dextromethorphan, yang terdapat dalam banyak obat batuk bebas, bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk opiat atau phencyclidine (PCP). Pseudoephedrine (ditemukan dalam dekongestan) dapat menunjukkan hasil positif palsu untuk amfetamin.
Pada antidepresan, diantaranya Sertraline (Zoloft) bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk benzodiazepin atau LSD. Bupropion (Wellbutrin) bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk amfetamin. Sedangkan pada obat Antipsikotik, diantaranya Quetiapine (Seroquel) dapat menunjukkan hasil positif palsu untuk methadone atau trisiklik antidepresan.
Obat-obatan lainnya adalah Ranitidine (Zantac), obat pengurang asam lambung, bisa menunjukkan hasil positif palsu untuk methamfetamin atau amfetamin. Trazodone, yang biasa digunakan sebagai obat tidur atau antidepresan, dapat menghasilkan positif palsu untuk amfetamin atau methamfetamin. Pada antihistamin, diantaranya Diphenhydramine (Benadryl) kadang-kadang menunjukkan hasil positif palsu untuk methadone, opioid, atau PCP. Pada antikonvulsan, diantaranya Phenytoin (Dilantin) dan carbamazepine juga dapat menunjukkan hasil positif palsu untuk barbiturat atau opioid.
Zullies kembali menandaskan hasil positif palsu ini dapat terjadi karena reaksi silang kimia antara obat-obatan tersebut dengan antibodi yang digunakan dalam tes immunoassay untuk mendeteksi narkoba. Karenanya sangat penting untuk mengetahui bahwa kemungkinan hasil positif palsu ini tergantung pada spesifisitas dan sensitivitas kit immunoassay yang digunakan, serta kondisi tertentu lainnya selama pengujian.
“Jika hasil tes urin positif dalam skrining awal, biasanya disarankan untuk melakukan tes konfirmasi menggunakan metode seperti GC-MS (Gas chromatography-Mass Spectrometry) atau LC-MS (Liquid Chromatography-Mass Spectrometry) untuk memverifikasi hasil tersebut,” terangnya.
Zullies menyebut tes konfirmasi ini dapat membedakan antara obat yang sebenarnya dan substansi lain yang mungkin memiliki struktur kimia serupa. Kromatografi, khususnya ketika digabungkan dengan spektrometri massa, adalah metode konfirmasi yang sangat akurat dan digunakan untuk mengonfirmasi hasil positif dari tes skrining awal seperti immunoassay.
GC-MS adalah standar emas dalam pengujian narkoba karena keakuratan dan keandalannya yang tinggi. Metode ini dapat secara spesifik mengidentifikasi dan mengkuantifikasi zat narkoba dalam sampel dengan memisahkan komponen kimia dan mengidentifikasi masing-masing berdasarkan massa dan struktur molekulnya.
Hanya saja, metode ini lebih mahal dan membutuhkan waktu serta peralatan khusus, dan biasanya dilakukan di laboratorium setelah tes awal mengindikasikan hasil positif. Proses ini penting untuk memastikan bahwa hasil positif awal memang benar dan bukan karena interferensi dari substansi lain atau kondisi tertentu yang dapat menimbulkan hasil positif palsu.
“Kombinasi kedua metode ini tentu saja membantu dalam meningkatkan keakuratan dan reliabilitas hasil tes urin narkoba,” paparnya.
Lantas bagaimana untuk mencegah positif palsu sebagaimana yang terjadi pada istri Bintang Emon yang mengalami hasil pemeriksaan positif palsu terhadap test narkoba, Zullies mengungkap semua bisa terjadi karena kekurang-tahuan atau ketidaksiapan dalam pemeriksaan.
Jika test narkoba memang dilakukan dengan rencana, misalnya untuk syarat melamar sekolah atau pekerjaan, maka sebaiknya menghindari terlebih dahulu penggunaan obat-obatan lain sebelum test narkoba. Namun jika test dilakukan secara mendadak, maka informasikan obat-obat apa saja yang sedang dikonsumsi untuk mengantisipasi jika terjadi positif palsu.
“Jika diperlukan, maka test narkoba dapat diulang setelah diberi jeda beberapa hari agar obat-obat lain tersebut tereliminasi dari tubuh,” ucapnya.
Zullies menegaskan obat-obat yang memberikan hasil positif palsu tidak serta bisa dikatakan mengandung narkoba dan berbahaya. Tidak bisa disimpulkan obat-obat tersebut mengandung narkoba. Sedangkan untuk bahayanya juga tidak bisa digeneralisir sangat tergantung dari macam obatnya.
“Yang pasti, obat-obat tersebut jika memang digunakan sesuai tujuannya, bukanlah obat berbahaya. Komponen pada obat flu misalnya, adalah obat yang dapat dibeli bebas dan tidak bersifat adiktif. Jadi tidak perlu kuatir. Gunakan obat secara legal dan tepat sesuai petunjuk dokter atau informasi dalam kemasan obat,” sarannya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Freepik.com