
Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online (ojol) dalam waktu dekat mendapat perhatian publik. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebutkan bahwa tarif ojol roda dua akan mengalami kenaikan hingga 15 persen. Penyesuaian tarif ini akan diterapkan secara berbeda di tiap zona, mengikuti pembagian wilayah operasional yang telah ditentukan. Kebijakan ini diambil untuk menyeimbangkan kebutuhan pengguna, mitra pengemudi, dan aplikator.
Meski demikian, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, mengingatkan bahwa kenaikan tarif tidak otomatis meningkatkan pendapatan mitra. Ia menilai bahwa perilaku konsumen cenderung responsif terhadap perubahan harga, terutama untuk perjalanan jarak pendek. Dwi menambahkan bahwa analisis permintaan sangat penting agar kebijakan ini tidak justru berbalik merugikan mitra ojol sendiri. “Pengalaman yang lalu, kenaikan tarif akan menurunkan permintaan antara 30%-50% untuk perjalanan jarak pendek, yang tentu justru akan menurunkan pendapatan semua pihak,” ungkapnya, Kamis (24/7).
Lebih lanjut, Dwi mengungkapkan bahwa tantangan utama di lapangan adalah dinamika sistem pentarifan yang kompleks dan berdampak luas. Jumlah mitra ojol yang sangat besar, diperkirakan antara 4 hingga 7 juta orang di Indonesia, membuat kebijakan tarif menjadi isu sensitif. Ia menjelaskan bahwa pada awal kemunculan transportasi daring, banyak orang memilih berhenti dari pekerjaan tetap untuk menjadi mitra ojol karena potensi penghasilan yang tinggi. Namun kini, ketika pendapatan tidak lagi sebesar dulu, para mitra kerap merasa dirugikan, meski kenyataannya lebih berkaitan dengan perubahan standar dan ekspektasi pendapatan yang tidak lagi sama. Ia menilai perlunya penyesuaian ekspektasi antara mitra, aplikator, dan pengguna.
Di sisi lain, keberadaan aplikator sebagai entitas bisnis tetap mengedepankan profitabilitas. Hingga triwulan IV 2024, perusahaan Goto masih mencatatkan kerugian, sementara Grab mulai membukukan laba setelah merugi dalam dua triwulan sebelumnya. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran penting sebagai regulator yang netral dan adil. Dwi menyebut bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan harus dijalankan dengan tegas agar tercipta keseimbangan antara kepentingan bisnis dan perlindungan terhadap mitra. Keseimbangan ini menjadi kunci agar industri transportasi daring tetap berkelanjutan.
Untuk menghadapi kompleksitas tersebut, Dwi menawarkan solusi agar kebijakan tarif dapat menguntungkan semua pihak, terutama mitra dan konsumen. Ia menekankan pentingnya memiliki patokan pendapatan yang dianggap wajar bagi mitra ojol. “Semua pihak harus melihat dengan jernih untuk menilai seberapa besar sebenarnya tingkat kewajaran pendapatan yang berhak diterima oleh mitra. Besaran UMR dapat menjadi acuan kewajaran pendapatan yang diterima oleh mitra ojol sebagaimana acuan pada sektor lainnya,” jelasnya.
Menutup keterangannya, Dwi menyampaikan harapan agar kebijakan tarif ojol ke depan didasarkan pada transparansi dan kejelasan mekanisme. Salah satu aspek penting yang perlu diperjelas adalah proporsi pembagian hasil antara aplikator dan mitra, yang selama ini sering menjadi sumber ketegangan. Ia menekankan bahwa keberlanjutan industri ojol sangat bergantung pada rasa saling memahami dan mekanisme tarif yang akuntabel. “Semua pihak harus menyadari bahwa tingkat tarif yang wajar sangat penting untuk menjaga agar industri tetap berjalan, karena apabila salah satu pihak memaksakan kehendak maka justru akan merugikan ekosistem secara keseluruhan,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Ilustrasi : Detik.com
Editor : Triya Andriyani