Maraknya penggunaan media sosial oleh masyarakat tidak terkecuali penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan tenaga kesehatan bak pisau bermata dua. Jika tidak dilakukan dengan bijak, maka akan berpotensi menimbulkan sengketa medis dan melanggar kaidah-kaidah etik.
Direktur Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Prof. Soedomo, Dr. drg. Julita Hendrartini, M. Kes., AAK., menyebutkan media sosial memiliki manfaat seperti memperluas jaringan pertemanan, tetapi terdapat risiko yang mengarah pada sengketa medis dan juga etika penggunaan media sosial khususnya bagi tenaga kesehatan. “Penting bagi seluruh tenaga kesehatan agar dapat terhindari dari masalah hukum dan tuntutan pasien kedepannya, sehingga perlu bijak dalam menggunakan medsos,” kata Julita dalam webinar yang bertajuk Bijak Bermedia Sosial dalam Pelayanan Kesehatan, Sabtu (8/6) lalu.
Anjar Umarjianto, S.H., S. Kom., MARS, Pendiri dan Ketua Umum Perhimpunan Humas Rumah Sakit Indonesia (PERHUMASRI), menyebutkan bahwa tenaga kesehatan memegang tanggung jawab dan nilai yang besar di mata masyarakat sebagai profesi yang mulia. Anjar menyebutkan bahwa terdapat tiga etika yang harus diperhatikan oleh penyedia layanan kesehatan baik rumah sakit maupun petugas kesehatan. Pertama, pemahaman umum, sebagai tenaga kesehatan, disarankan untuk tidak boleh pamer diri, menyinggung SARA, menghujat, dan membagikan sesuatu tanpa sumber yang jelas. Etika kedua adalah etika profesi, di mana setiap profesi memiliki kode etik yang harus dipatuhi. Etika ketiga adalah etika institusi, yang mencakup etika di tempat kerja yang harus menjaga martabat institusi serta mengikuti etika promosi rumah sakit yang berlaku.
Menurut keputusan MKEK 029/PB/K.MKEK/04/2021, terdapat 13 fatwa etik dokter bermedia sosial. Salah satu yang terpenting yaitu penggunaan media sosial untuk membahas hoax atau informasi keliru terkait kesehatan atau kedokteran merupakan tindakan yang mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. “Saat ini, hoax yang beredar di Indonesia menempatkan topik kesehatan pada urutan ketiga terbanyak sehingga dibutuhkan tindakan mulia untuk mengkonfirmasi informasi yang keliru tersebut,” paparnya.
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Dr. drg. Hari Pudjo menyatakan bahwa dokter gigi dan rumah sakit bisa dituntut atas pelanggaran kode etik, disiplin, dan hukum secara bersamaan. Sebagai contoh, dokter gigi yang mengajak publik untuk datang ke praktiknya telah melanggar kode etik. “Jika seorang dokter gigi mengklaim mampu melakukan semua jenis praktik, padahal ia hanya seorang ortodontis, maka ia telah melakukan pelanggaran disiplin,” katanya.
Selain itu, apabila praktik dokter gigi menyebabkan kerugian pada kesehatan atau penampilan gigi pasien, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum seperti apa yang tertuang pada pasal 305 dan 306 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Hari menyebutkan bahwa sanksi atas pelanggaran iklan layanan kesehatan berupa sanksi administrasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan berupa pencabutan izin usaha maupun pencabutan Surat Izin Praktik. “Segala bentuk pelanggaran etik maupun disiplin yang merugikan dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum,” ujarnya.
Penulis: Dita
Editor: Gusti Grehenson
Foto: Freepik