
Isu lingkungan kembali menjadi perhatian publik. Pasalnya, baru-baru publik dihebohkan dengan kondisi hutan adat di Papua yang dibabat habis untuk kegiatan perkebunan sawit dan pertambangan. Lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di pulau-pulau Raja Ampat, Papua misalnya dieksploitasi untuk rambang nikel. Hal ini kemudian mendorong perlawanan dari masyarakat, termasuk para anak muda Papua yang senantiasa membela hutan mereka.
Sebuah spanduk bertuliskan dari bahasa Tehit yang artinya ”Bantu Kami Menjaga Hutan Adat Ini” menyambut puluhan pemuda dari berbagai wilayah adat di Papua yang akan mengikuti acara Forest Defender Camp (FDC) atau kemah pembela hutan di hutan masyarakat adat Knasaimos di Kampung Manggroholo-Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, pada 23 September lalu.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM Dr. Hatma Suryatmojo, mengapresiasi komitmen anak muda yang menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan hutan mereka yang terancam mengalami deforestasi karena kegiatan pertambangan dan perkebunan. “Saya menaruh hormat dengan gerakan anak muda Papua yang itu menunjukkan kepemimpinan ekologis yang konkret dengan menjaga sumber pangan lokal, perlindungan sumber air untuk kebutuhan masyarakat lokal dan lebih luas, dan kemandirian energi skala lokal yang semuanya bertumpu pada peran penting hutan dan kebutuhan menjaga kesehatan hutan,” ungkapnya, Jumat (10/10).
Bagi Hatma, aksi membela hutan adat ini tidak hanya sebatas kegiatan kolektif yang menyerukan keadilan, namun lebih dari itu. Melalui aksi ini mereka memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai alat untuk alat advokasi mereka. “Mereka juga mulai memadukan kearifan adat dengan teknologi seperti pemetaan partisipatif, dokumentasi digital, hingga pelatihan penjaga hutan, sehingga advokasinya lebih solid dan berjejaring,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa melalui All Eyes on Papua atau Forest Defender Camp dapat menunjukkan bahwa energi anak muda Papua menjadi bagian penting sebagai garda terdepan penjaga ruang hidup tidak hanya untuk Masyarakat lokal, tapi yang lebih luas. Menurutnya, hutan adat bukan hanya simbol identitas, tetapi mesin ketahanan pangan, energi, dan air yang bekerja setiap hari. “Menjaga hutan adat berarti memastikan dapur tetap berasap, air tetap mengalir, lingkungan tetap Lestari, dan sekaligus mengakui martabat serta kedaulatan pengetahuan komunitas yang telah merawatnya turun-temurun,” papar Hatma.
Dikatakan Hatma, hutan merupakan lumbung hidup yang memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup. Dari segi penyediaan sumber daya air hingga bahan bakar biomassa yang dimanfaatkan oleh oleh masyarakat. Selain itu, hutan adat secara ekologis mempertahankan konektivitas habitat, menyerap karbon, dan menjaga jasa ekosistem yang menjadi fondasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Secara normatif, menurut Hatma pijakan hukum dari UU yang melindungi hutan adat sudah kuat. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 menegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, sehingga pengakuan dan penerapannya menjadi mandat konstitusional. Dengan adanya UU ini, seharusnya negara melindungi hutan adat tersebut. Namun pada prakteknya berbeda. pelaksanaan yang bertahap dan permasalahan perizinan tumpang tindih menjadi persoalan utama dari eksploitasi hutan adat ini. “Di lapangan, pelaksanaan masih bertahap yang dimulai dengan kebutuhan pengakuan Masyarakat Hukum Adat oleh pemerintah daerah, penetapan batas, serta penyelesaian tumpang tindih perizinan yang membutuhkan waktu dan proses yang seringkali panjang dan lama. Tantangan teknis dan tata kelola masih kerap menghambat proses di tingkat daerah,” ungkapnya.
Permasalahan hutan adat yang terjadi di Indonesia memang cukup kompleks, maka bagi Hatma perlu langkah yang cukup konkrit dari untuk permasalahan ini. Menurutnya, diperlukan percepatan pengakuan dan penetapan hutan adat, penyelesaian konflik dan kepastian hak, moratorium perizinan baru pada areal yang telah dipetakan, membangun skema pembiayaan berbasis jasa ekosistem, hingga penguatan kapasitas masyarakat lokal. “Termasuk membangun kemitraan kelola bersama perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian hutan adat,” pungkasnya.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Greenpeace