
Adinda Yusria Rachma (18) begitu sumringah saat ditemui di Kampung Tompeyan, Kota Yogyakarta. Tak henti-hentinya ia menyampaikan rasa syukur. Lulusan SMAN 8 Yogyakarta ini baru saja menapaki salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya dengan diterima sebagai mahasiswa baru Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada. Selain lulus masuk UGM tanpa tes, Adinda juga menerima beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 % atau UKT 0 yang membebaskannya dari kewajiban membayar uang kuliah.
“Waktu lihat nama saya lolos SNBP, rasanya kayak mimpi. Tapi ternyata belum selesai, beberapa hari kemudian, saya cek dan ternyata saya juga dapat beasiswa. Senang tentunya karena bisa meringankan beban Ibu,” ujar Adinda dengan mata berbinar, Kamis (12/6).
Saat pengumuman kelulusan, ia tidak sabar menyampaikan kabar baik ini kepada sang ibu yang saat itu masih berada di tempat kerja. Namun dibalik senyum bahagia tersebut, ada perjalanan panjang yang tidak selalu mulus ia lalui. Sejak usia 2,5 tahun, Adinda dibesarkan oleh ibunya seorang diri. Ayahnya wafat saat ia masih terlalu kecil untuk mengingat wajahnya. Ibunya, Eny Setyawati (57), seorang guru di Taman Asuh Anak Al Fatihah di lingkungan rumah mereka, menjalani hari-hari sebagai single parent dengan keteguhan luar biasa.
Meski penghasilan terbatas dan waktu istirahat minim, sang ibu tidak pernah absen memastikan anak-anaknya berangkat sekolah dengan semangat penuh. Dalam keseharian yang sederhana, ia selalu menanamkan pada Adinda pentingnya memilih jalan hidup yang memberi manfaat luas. Menurutnya, pekerjaan yang bukan sekadar untuk bertahan, tetapi juga untuk melayani. “Saya tanamkan ke anak-anak, kalau bisa kerjalah di bidang yang bermanfaat entah pendidikan atau kesehatan. Karena itu ladang amal untuk bekal hidup panjang bukan hanya di dunia. Saya bersyukur sekali UGM memberi kesempatan seluas ini bagi anak saya,” ujar Eny.
Pesan dari ibunya itu selalu diingat oleh Adinda. Bahkan pekerjaan yang dilakoni sekarang ini sebagai pengasuh menginspirasi Adinda untuk menekuni bidang kesehatan. “Saya ingin membantu orang, terutama dalam situasi darurat,” ungkap Adinda.
Ketertarikan itu bukan sekadar cita-cita masa kecil, tapi makin mantap saat ia aktif di kegiatan OSIS dan Palang Merah Remaja (PMR) selama SMA. Ia kerap mengikuti pelatihan pertolongan pertama, simulasi evakuasi bencana, dan kegiatan sosial lainnya yang membuatnya sadar bahwa dunia kesehatan adalah panggilan hidupnya.
Aktivitas di organisasi tersebut sempat membuat nilainya turun di tengah semester. Adinda tidak menyerah. Ia belajar mengatur waktu lebih baik, menyeimbangkan kegiatan organisasi dengan tanggung jawab akademik. Ia mulai membatasi kegiatan di luar jam pelajaran dan memperkuat kebiasaan belajar malam hari. Dukungan dari guru dan teman-temannya juga menjadi suntikan penambah semangat. “Saya sadar saya harus kejar ketertinggalan. Semester akhir saya push diri sendiri supaya masuk peringkat eligible. Akhirnya bisa masuk UGM sesuai harapan saya dan keluarga,” ujarnya sambil tersenyum.
Bagi keluarga kecilnya, UGM bukan sekadar kampus ternama. Ini adalah simbol dari cita-cita yang tampak terlalu jauh untuk disentuh sampai akhirnya menjadi nyata. Adinda adalah anak pertama dalam keluarganya yang berhasil menembus gerbang kampus kerakyatan ini. Kakaknya kini kuliah di Teknik Mesin UNY dan mereka berdua sama-sama dibiayai oleh sang ibu dari penghasilan yang sangat terbatas. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk pendidikan selalu didampingi dengan doa, keyakinan, dan semangat saling menyemangati.
Adinda mengakui selama proses seleksi, ibunya adalah sosok yang paling sering menyemangati dan mendoakan, bahkan saat ia sendiri sempat ragu. Ia ingat betul bagaimana ibunya selalu menyisipkan doa di sela-sela makan pagi atau menjelang tidur. Setiap langkah yang ia tempuh terasa seperti langkah bersama, bukan semata usaha pribadi. “Masuk UGM itu juga salah satu cita-cita Ibu. Jadi saya merasa ini bukan cuma kemenangan saya, tapi juga hadiah kecil untuk beliau,” tambahnya.
Saat di kampus nanti, Adinda sudah memiliki bayangan yang jelas. Ia ingin memperdalam pemahaman tentang praktik keperawatan, penanganan pasien, dan pertolongan pertama. Tidak hanya di kelas, ia juga ingin aktif di luar ruang akademik. Adinda berharap bisa bergabung di organisasi kemahasiswaan dan kegiatan volunteering, khususnya menjadi relawan di daerah bencana. Ia juga berharap bisa mengikuti riset-riset lapangan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. “Saya ingin bantu langsung masyarakat yang benar-benar membutuhkan tenaga medis. Itu salah satu alasan saya masuk keperawatan, bukan cuma karena saya suka, tapi karena saya merasa ini jalan saya untuk berkontribusi,” tuturnya.
Adinda sadar perjuangan belum berakhir tetapi kali ini ia melangkah dari pijakan yang lebih kuat. Bersama ribuan mahasiswa lain di UGM, ia siap tumbuh dalam lingkungan yang inklusif yang menghargai keberagaman latar belakang dan potensi. Ia merasa diterima sepenuh hati, bukan karena latar belakang tetapi karena semangat dan kemampuannya. Ia juga merasa UGM akan menjadi rumah baru yang mendorongnya berkembang, baik secara akademik maupun sosial. Dukungan dari kampus dalam bentuk beasiswa ini bukan hanya meringankan secara ekonomi, tetapi juga menjadi penyulut semangat untuk berbuat lebih. “Saya percaya semua orang punya kesempatan yang sama asal mau kerja keras. UGM membuktikan bahwa kampus kerakyatan itu nyata. Saya bersyukur banget jadi bagian dari kampus ini,” katanya.
Kisah Adinda adalah cermin nyata dari nilai-nilai kerakyatan, kemandirian, dan keberlanjutan yang dijalankan oleh UGM. Lewat program beasiswa UKT Bersubsidi, kampus ini bukan hanya memberi ruang bagi mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu, tetapi juga menanam benih masa depan berupa generasi yang tidak sekadar pintar tapi peduli dan siap mengabdi. Adinda kini melangkah sebagai bagian dari wajah inklusif UGM, tempat di mana anak-anak bangsa dari berbagai penjuru dan latar belakang dapat berdiri sejajar, tumbuh, dan memberi makna. Adinda Yusria Rachma adalah bukti bahwa pendidikan memang bisa mengubah nasib, bukan dengan keajaiban, tapi dengan kerja keras, keyakinan, dan lingkungan yang tepat.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Firsto