
Kantor redaksi berita Tempo mendapat teror berupa paket berisi kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke salah satu jurnalisnya. Jauh sebelum itu, terjadi sejumlah teror juga sering dialamatkan ke para jurnalis yang menjadi host di podcast bocoralus ini. Teror dalam bentuk kiriman bankai hewan ini, dianggap sebagai salah satu upaya pembungkaman pers. Padahal kebebasan berpendapat telah diatur dalam konstitusi.
Dosen Komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si., menjelaskan bahwa peristiwa teror ke kantor Tempo tersebut jelas-jelas merupakan upaya pembungkaman pers. “Bentuk intimidasi kepada media sudah dilakukan lewat perlakuan yang semena-mena hingga dihalangi untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi pada kasus ini memang levelnya lebih tinggi,” ungkapnya, Selasa (25/3).
Menurut Wisnu, kebebasan pers dan demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998 ternyata mengalami penurunan, bukan hanya dari sisi negara tapi juga masyarakatnya. Teror semacam ini diakui Wisnu masih saja sering terjadi karena adanya kebencian yang dipupuk. Padahal di dalam kehidupan bernegara penting bagi setiap warga negara untuk saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Apalagi pers menjadi pilar utama dari tegaknya demokrasi.
Menghadapi upaya tindakan pembungkaman pers, diperlukan dukungan penguatan penegakan hukum. Selain itu, penyelesaian dari perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan terhadap informasi yang disampaikan oleh media sebaiknya memiliki prosedur yang telah diatur. Apabila terjadi perbedaan pendapat atau keberatan terhadap berita atau informasi yang ditayangkan atau muat oleh media dapat dilaporkan ke pihak Dewan Pers untuk dilakukan mediasi. “Mungkin memang sudah saatnya masyarakat luas terutama pemerintah dikenalkan kembali prosedur jika terdapat perbedaan pendapat,” terangnya.
Terkait aksi teror yang dilakukan oleh terhadap para jurnalis kritis, Wisnu menyatakan dukungannya kepada media Tempo dan mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi secepatnya. Ia juga memberi pesan kepada para jurnalis untuk selalu berhati-hati dan waspada. Terlebih lagi bagi jurnalis media-media kecil dan media kampus belum tentu memiliki privilege seperti jurnalis dari media besar. Meskipun, pada dasarnya insan pers merupakan bagian yang tidak boleh dilibatkan dalam konflik. “Kemerdekaan pers itu adalah hal yang penting dalam demokrasi, kalau kebebasan pers nggak ada kan berarti tidak ada demokrasi,” terangnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Iran Freedom Press