Seperti biasanya, pagi hari di area kampus FK-KMK UGM selalu ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang beraktivitas. Sebagian dari mereka baru saja tiba di kampus untuk mengikuti perkuliahan. Di pojok selatan kampus ini terdapat gedung tiga tingkat yang didominasi cat warna putih cerah. Sedikit unik, dia area teras depan gedung terdapat patung manusia purba. Gedung ini diberi nama Gedung T Jacob, lokasi Museum Bio-Paleoantropologi.
Saat masuk ke area museum, hal yang pertama menyambut pengunjung adalah suasana hangat lampu display yang menyorot ilustrasi perubahan bumi dari pertama kali terbentuk hingga saat ini. Gambar yang dipajang berdiri tegak seolah menuturkan pada pengunjung bagaimana miliaran tahun yang lalu bumi terbentuk dari sebuah dentuman besar. Adanya dentuman ini menghasilkan awan debu dan sekumpulan material lainnya melayang di kehampaan, saling bertabrakan dan membuat keterikatan, dan seiring waktu membentuk sebuah gugus yang dikenal sebagai bumi hari ini.
Ilmuwan menyebut bumi awalnya berbentuk bola panas yang tidak stabil dan memiliki suhu permukaan yang tinggi. 2,5 miliar tahun yang lalu, bumi masih tidak memiliki kehidupan dan memiliki gunung berapi yang memuntahkan sejumlah material. Namun, kondisi inilah yang kemudian menciptakan hidrosfer dan atmosfer yang menunjang kehidupan pertama di bumi. Organisme pertama yang muncul merupakan organisme bersel tunggal dan kemudian berevolusi menjadi multiseluler. Dari sana, muncul jenis-jenis hewan dan tumbuhan dengan jaringan yang lebih kompleks. Siklus kehidupan di bumi pun dimulai dengan munculnya hewan purba seperti dinosaurus yang kemudian punah sekitar 65 juta tahun yang lalu.
Setelah kepunahan dinosaurus, perlu waktu lama untuk kehidupan kembali seperti semula. Pada masa inilah, manusia purba pertama muncul. Hal ini menjadi pertanyaan yang mengisi pajangan di sebelah kisah bumi tadi: Siapakah sebenarnya manusia? Siapakah kita?
Dinding lain dalam Museum Bio-paleoantropologi memajang sebuah kisah bagaimana dahulu kala seorang ilmuwan mengamati betapa burung-burung memiliki jenis paruh yang berbeda. Dari sana, muncul pemahaman bahwa jenis paruh burung yang berbeda tersebut menyesuaikan dengan jenis makanannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada burung saja, tetapi hewan-hewan lain seperti gajah dan harimau purba. Ilmuwan tersebut, Charles Darwin yang kemudian mengusulkan teori evolusi.
Hal yang sama diperkirakan terjadi pada manusia purba sebelum akhirnya menjadi manusia hari ini yang dilabeli sebagai Homo sapiens, manusia yang arif. Pada salah satu sudut Museum Bio-Paleoantropologi, sebuah model tengkorak terpajang manis. Ia diberi nama Lucy. Ia merupakan fosil kerangka Australopithecus afarensis yang ditemukan di Ethiopia pada tahun 1974. Para peneliti memperkirakan Lucy merupakan nenek moyang dari Homo atau nenek moyang dari manusia modern. Di deretan yang sama, sejumlah manusia purba lainnya dipamerkan seperti Nutcracker Man yang identik dengan giginya yang besar dan dagunya yang kokoh.
Museum Bio-Paleoantropologi juga turut memajang sebuah kerangka hasil rekonstruksi Manusia Purba Jawa. Manusia purba ini berjenis kelamin perempuan dan diperkirakan menghuni tanah Jawa puluhan ribu tahun yang lalu. Tulang-tulangnya terkumpul hampir lengkap seperti tengkorak, tulang-tulang rusuk, dan tulang pada kaki dan tangan lengkap dengan uraian rambut yang masih melekat. Koleksi ini tersimpan dalam kotak transparan, membuatnya lebih spesial dari yang lain.
Revitalisasi Museum Bio-Paleoantropologi UGM ini juga tidak hanya menyapa pengunjung dengan kilasan masa lalu, tetapi sejumlah teknologi juga siap berinteraksi dengan pengunjung. Salah satunya adalah layar berteknologi tinggi yang berdiri tegak menampilkan ilustrasi kerangka tubuh manusia purba. Pengunjung dapat mencoba berdiri di depan layar dan sensor yang ada dapat mendeteksi gerakan pengunjung. Seketika, layar pun mengilustrasikan gerakan pengunjung pada tubuh manusia purba tersebut. Tulisan pada layar menjelaskan perbedaan fisik pada manusia purba dan modern menyebabkan manusia modern dapat melakukan beberapa gerakan dengan lincah dan fasih dibandingkan manusia purba.
Mesin interaktif lainnya merupakan layar sentuh yang memetakan situs-situs arkeologi di seluruh dunia. Pengunjung cukup memilih benua mana yang akan dituju dan titik-titik penemuan akan muncul. Selanjutnya, detail masing-masing lokasi akan muncul sesuai dengan pilihan. Misalnya, di Indonesia kita dapat memilih Situs Sangiran, salah satu situs terpenting dalam pemecahan teka-teki manusia purba. Sangiran menjadi titik peradaban di masa lalu dan menyimpan banyak harta berharga bagi ilmu pengetahuan. Von Koenigswald merupakan fosil rahang kanan manusia purba Homo erectus. Dari Sangiran, sosok T. Jacob mengenalkan kita pada manusia penghuni Pulau Jawa di masa lalu.
Sosok di Balik Koleksi Manusia Purba
Nama T. Jacob mungkin asing bagi sebagian besar mahasiswa UGM hari ini. Namun, sejatinya beliau merupakan tokoh yang berjasa bagi perkembangan UGM. Prof. Dr. Teuku Jacob, M.S., M.D., D.Sc. merupakan sosok yang menjabat sebagai Rektor UGM pada periode 1981—1986. Dikutip dari buku Rektor-Rektor Universitas Gadjah Mada: Biografi Pendidikan, beliau merupakan lulusan Fakultas Kedokteran (FK) UGM pada 1956 dan kemudian tahun berikutnya melanjutkan pendidikan di Universitas Arizona, lalu Howard University.
Pengabdiannya pada UGM dimulai dengan menjadi dosen. Tidak butuh waktu lama baginya untuk naik ke jabatan Sekretaris FK UGM pada tahun 1973—1975 sebelum akhirnya naik menjadi Dekan pada tahun 1975. Jacob akhirnya mengemban jabatan sebagai Rektor UGM pada Desember 1981. Dalam biografinya tersebut, Aprinus Salam menulis pria kelahiran Aceh ini sebagai sosok dengan khazanah keilmuannya yang luas. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah gelar yang dicapainya, karya yang dihasilkan, dan juga beragamnya relasi profesional yang ia miliki. Jacob disebut sebagai pakar dalam bidang antropologi budaya, lingkungan, arkeologi, biologi, paleoantropologi, biopolitik, polemologi, dan lain sebagainya.
Jacob banyak mengabdikan hidupnya bagi ilmu pengetahuan. Namun, asma yang diidapnya membuatnya tidak tahan dengan bau mayat. Akhirnya ia disebut memilih ilmu Antropologi Ragawi. Pengabdiannya pada bidang inilah yang mengantarkannya membuka pengetahuan baru bagi umat manusia dengan penemuan fosil Homo erectus Jawa di Sangiran pada 1962 dan Homo floresiensis di Liang Bua, Pulau Flores. Penemuan Jacob membantunya membantah hipotesis yang menyebutkan manusia purba Jawa memiliki kebiasaan memenggal dalam praktik kanibalisme.
Adanya Museum Bio-Paleoantropologi ini adalah cara dari UGM untuk terus mengabadikan ilmu pengetahuan mengenai siapa kita dan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Lebih dari itu, museum ini adalah bentuk penghayatan terhadap jasa T. Jacob yang tidak terhingga, bagi UGM dan bagi dunia keilmuan dengan perjalanannya mencari pengetahuan dan jawaban atas pertanyaan siapakah kita?
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., mengatakan keberadaan museum Bio-Paleoantropologi diharapkan dapat terus mendukung pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, biologi, paleoantropologi, dan anatomi. Menurut Ova, museum ini menjadikan satu-satunya museum Bio-Paleoantropologi di Indonesia sebagai center of excellence dengan koleksi fosil yang akan dirawat, dilestarikan dan dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dari museum ini, kata Ova, para pengunjung memiliki referensi visual dan mendapatkan nuansa pembelajaran yang berbeda-beda. “Tentunya akan memunculkan rasa ingin tahu yang bermanfaat dalam proses mengasah ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Dekan FK-KMK UGM, Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH, mengungkapkan pihaknya baru saja melakukan revitalisasi museum ini juga sebagai bentuk penghormatan pada Prof. Teuku Jacob, tokoh besar dalam paleoantropologi dari UGM yang namanya diabadikan pada gedung museum. Sosok mantan Rektor UGM ini dikenal membumi, rendah hati, dan penuh kontribusi sejalan dengan konsep ugahari yang kemudian dijadikan konsep revitalisasi museum.
Yodi lalu menjelaskan tentang tiga set patung yang sengaja diletakkan di depan museum. Pertama, patung Homo erectus dan kedua adalah patung Homo sapiens atau ras manusia yang menjadi simbol tidak ada lagi diskriminasi manusia berdasarkan ras atau suku bangsa. “Patung ketiga adalah ikon utama kita, the end counter of primate, pertemuan simbolis dua bocah primata lintas zaman yang mencerminkan perjalanan evolusi manusia,” tuturnya.
Yodi juga menjelaskan, museum Bio-Paleoantropologi ini dipadukan dengan Museum Anatomi yang dihadirkan sebagai upaya integral fakultas untuk menjadi pusat rujukan dalam bidang anatomi manusia. Museum ini diharapkan dapat menjadi tempat di mana sejarah, ilmu pengetahuan, dan pendidikan bersatu, sehingga dapat memberikan pengalaman pembelajaran yang komprehensif bagi mahasiswa, peneliti, maupun masyarakat luas. “Kedua museum ini bukan sekedar ruang untuk menyimpan artefak dan koleksi, tetapi menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan yang terus menyatukan kita dalam upaya memahami evolusi, sejarah, dan tubuh manusia,” ungkap Yodi.
Penulis :Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto