Jangan anggap remeh jika terkena gigitan ular. Sebab seperempat dari kasus gigitan ular di Indonesia berasal dari jenis ular berbisa. Namun sayangnya belum semua ular terdapat antivenom yang bisa tersedia di rumah sakit atau Dinas Kesehatan. Dari 370 jenis ular, diketahui gigitan ular tertentu menimbulkan risiko morbiditas dan fatalitas diantaranya ular weling, ular welang, ular kobra, king kobra, dan beberapa jenis ular dari Papua.
Peneliti dampak gigitan ular dari Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kemenkes RI, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM., mengatakan sepanjang tahun 2018 hingga 2023, kasus gigitan ular yang paling banyak ditemukan dari jenis ular kobra jawa (Naja sputatrix). Bekas gigitan ular ini sangat khas dengan menimbulkan nekrosis, pembengkakan, bersifat kardiotoksin, dan neurotoksin. “Di Indonesia ada dua spesies kobra yakni kobra jawa dan kobra sumatra (Naja sumatrana). Namun belum ada antivenom dari pabrik Thailand dan Australia. Jadi kita harus bikin sendiri,” kata Tri Maharani kata Tri Maharani dalam kuliah umum yang bertajuk “Mengenali Resiko Perjalanan terkait Kejadian Keracunan Gigitan Binatang Berbisa”, Rabu (20/3) di Ruang Auditorium Gedung Tahir Foundation FK-KMK UGM.
Ia menjelaskan penyebaran kobra jawa ini endemik di pulau Jawa, Bali, Madura, Lombok, Sumbawa, Flores, dan Alor. Sedangkan kobra sumatra penyebarannya di Sumatra, Bangka, Belitung, dan Kalimantan.
Selain kasus gigitan ular kobra, ia juga menemukan banyak kasus gigitan ular tanah (Calloselasma rhodostoma) yang menurutnya sudah menjadi permasalahan serius. Awalnya Tri Maharani memperkirakan ada 135 ribu kasus ditemukan setiap tahunnya di Indonesia namun setelah ia mendapat sampel kasus gigitan ular tanah di Lebak Banten saja ia pun meralat hitungan tersebut. Di Banten pada tahun 2023 ditemukan 1.036 kasus. Naik dari tahun sebelumnya ada 878 kasus. “Artinya ribuan kasus hanya terjadi di satu Kabupaten. Besar kemungkinan kasusnya bisa mencapai 350 ribu kasus di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Sulitnya menurunkan angka fatalitas dan morbiditas dari kasus gigitan ular menurut Maharani disebabkan masyarakat kita yang masih lebih percaya ke dukun daripada mengobati secara medis. “Mereka masih datang ke dukun, apalagi beberapa anti venom jenis ular tertentu sudah ada. Kita sudah siapkan rumah sakit rujukannya,” jelasnya.
Untuk menangani pengobatan dan perawatan kasus gigitan ular berbisa, kata Maharani, pihaknya akan membentuk poison center dan riset pengembangan anti venom. Kemenkes juga sudah meluncurkan buku pedoman penanganan gigitan atau sengatan hewan berbisa serta keracunan tumbuhan dan jamur. Buku ini berisi soal tata laksana pada pertolongan pertama hingga penanganannya.
Di Puskesmas, pasien yang kena gigitan ular tidak diberi anti venom, tapi anticholinesterase. Setiap Puskesmas mendapatkan dua vial untuk diberikan kepada pasien yang memerlukan sebelum dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan anti venom atau bantuan ventilator. “Tahun 2022 lalu kita sudah diberikan 10 ribu vial. Di Papua sudah habis, dari sebelumnya 100 persen kena kasus gigitan ular meninggal maka sekarang sudah turun menjadi 80 persen,” ujarnya.
Soal bagaimana cara agar terhindar dari gigitan ular, Maharani mengatakan agar jangan selalu percaya mitos bahwa menaburkan garam atau cairan pembersih bisa terhindar dari gigitan ular sebab secara ilmiah jelas tidak terbukti. Namun berdasarkan pedoman WHO, menggunakan kelambu saat tidur ternyata efektif bisa menghindari gigitan ular maupun nyamuk. “Patut diberitahukan ke masyarakat tentang pentingnya menggunakan kelambu di saat tidur selain terhindar dari gigitan ular namun juga mencegah DBD,” katanya.
Seperti diketahui, ular adalah reptil yang tak berkaki dan bertubuh panjang dimana seluruh tubuh tertutup oleh lapisan kitin yang berbentuk sisik-sisik. Ular tidak mempunyai daun telinga dan gendang telinga sehingga tidak ada keistimewaan pada ketajaman indera mata maupun telinga. Namun mata ular selalu terbuka dan dilapisi selaput tipis sehingga mudah melihat gerakan sekelilingnya tapi ia tidak dapat memfokuskan pandangannya. “Ular baru dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto: Freepik