Kawasan transmigrasi Hialu memiliki potensi besar di sektor pertanian dan peternakan. Hanya saja untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki, kawasan Hialu memerlukan inovasi dan penelitian berbasis data. Tim ekspedisi Patriot UGM melakukan pemetaan Kawasan dan Pengembangan Desain Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu, Konawe Utara sebagai inisiatif strategis Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia dalam mewujudkan pembangunan kawasan transmigrasi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan.
Mohamad Rachmadian Narotama, S.T., M.Sc., Ph.D., selaku Ketua Tim Ekspedisi Patriot Hialu Output 1 menjelaskan potensi utama kawasan Hialu saat ini adalah perkebunan kelapa sawit. Sayang akibat ekspansi yang berlebihan berpotensi menimbulkan konflik dengan sektor lain, terutama akibat tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP). Meski kawasan ini masih menghadapi sejumlah tantangan utama berupa terkait infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi, namun ia menilai kondisi lingkungan di Kawasan Hialu memiliki potensi besar sebagai kawasan geosite atau geopark karena karakteristik bentang alamnya yang unik. “Beberapa permasalahan masih menjadi tantangan utama seperti beberapa sumber air yang mengering dan tercemar aktivitas tambang,” kata Rachmadian dalam keterangan yang dikirim, Rabu (5/11).
Oleh karena itu, dalam Rachmadian berpandangan pentingnya mengembangkan model ekonomi sirkular sawit, misalnya dengan memanfaatkan limbah sawit menjadi pakan ternak sapi. Disamping itu, diperlukan upaya merancang strategi pengelolaan sawit berkelanjutan dengan memperhatikan aspek konservasi lahan dan kesehatan ekosistem.
Dia menambahkan Program Transmigrasi Patriot merupakan inisiatif strategis Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia dalam mewujudkan pembangunan kawasan transmigrasi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan. Program ini dirancang untuk menjawab tantangan pembangunan kawasan transmigrasi yang selama ini berjalan secara parsial dan belum sepenuhnya berbasis data, sekaligus memperkuat peran kawasan transmigrasi sebagai poros pertumbuhan ekonomi baru di wilayah pedesaan dan perbatasan. Sebagai bagian dari strategi nasional tersebut, Kementerian Transmigrasi menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui pelaksanaan Program Tim Ekspedisi Patriot (TEP) yang melibatkan akademisi lintas disiplin untuk melakukan kajian lapangan dan perumusan rekomendasi pembangunan berbasis riset.
Dengan adanya kolaborasi ini menjadi langkah konkret dalam menghadirkan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan berbasis bukti (evidence-based policy) pada proses evaluasi serta perencanaan kawasan transmigrasi, sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal guna menghasilkan desain pengembangan wilayah yang berdaya saing, berkeadilan, dan berkelanjutan, dan di tahun 2025, salah satu lokus pelaksanaan Program Transmigrasi Patriot berada di Kawasan Transmigrasi Hialu, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. “Melalui keterlibatan Tim Ekspedisi Patriot UGM, kegiatan di Kawasan Transmigrasi Hialu diarahkan untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap kondisi sosial, ekonomi, ekologis, dan kelembagaan kawasan. Evaluasi ini menjadi langkah awal dalam merumuskan desain komoditas unggulan dan tata kelola kolaboratif yang mampu memperkuat kemandirian masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan kawasan,” imbuhnya.
Sekda Kabupaten Konawe Utara Dr. Safruddin, S.Pd., M.Pd memandang penting penting penyelenggaraan FGD sebagai wadah pertemuan antara data akademik dan realitas lapangan di kawasan transmigrasi. Dalam FGD inipun, ia berkesempatan menyoroti permasalahan mengenai status lahan hak transmigrasi sebagai permasalan utama yang dihadapi masyarakat saat. Meski, diakui, sebagian masyarakat telah memiliki sertifikat tanah, namun status kawasan masih tercatat sebagai kawasan hutan. “Inilah yang menjadi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum. Karenanya saya berharap hasil kajian Tim Ekspedisi Patriot nantinya dapat membantu mengurai persoalan tersebut serta melahirkan rekomendasi berbasis kebutuhan nyata masyarakat,” ucap Safruddin.
Dalam sesi diskusi, para Camat dan perwakilan instansi memaparkan berbagai permasalahan di wilayahnya masing-masing. Seperti camat Langgikima, Tasruddin yang menyoroti dampak lingkungan akibat aktivitas tambang dan perkebunan sawit, seperti banjir di musim hujan dan polusi debu di musim kemarau. Dirinya mengeluhkan bahwa sebagian besar wilayah Langgikima masih berstatus kawasan hutan. “Bahkan termasuk kantor Kecamatan Langgikima, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh legalitas lahan,” ungkapnya.
Permasalahan serupa disampaikan Marwan selaku perwakilan dari UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit XIX Laiwoi Utara. Disebutnya sekitar 70 persen wilayah Konawe Utara masih berstatus kawasan hutan. Keluarnya sertifikat tanah baru dapat memiliki kekuatan hukum setelah ada penurunan status kawasan hutan yang disahkan oleh pemerintah pusat. “Isu-isu terkait status lahan ini tentu memerlukan perhatian tingkat struktural tertinggi, dalam hal ini adalah pemerintah pusat,” ungkap Marwan.
Ir. Deva Fosterharoldas Swasto, S.T., M.Sc., Ph.D selaku narasumber FGD, mengatakan berbagai permasalahan di Kawasan Transmigrasi Hialu, Konawe Utara mencerminkan kompleksitas pembangunan wilayah yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Oleh karenanya Dinas/OPD di Kabupaten Konawe Utara diharapkan menyatukan sinergi untuk merumuskan kebijakan intervensi kawasan transmigrasi dalam penyelesaian permasalahan yang ada. “Kita berharap agar seluruh hasil diskusi dalam FGD ini dapat ditindaklanjuti dalam kebijakan yang konkret dan berpihak pada masyarakat. Pemerintah Daerah Konawe Utara dan Tim Ekspedisi Patriot UGM tentunya sepakat bila program transmigrasi dapat berperan sebagai tulang punggung pembangunan daerah, dan Kawasan Transmigrasi Hialu dapat dijadikan laboratorium pengembangan komoditas dan percontohan pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Konawe Utara,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : PT Propadu Konair Taruhubun
