
Perairan Kecamatan Buko Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, menjadi lokasi ekspedisi laut kolaboratif antara tim KKN-PPM Universitas Gadjah Mada (UGM), Blue Alliance Indonesia, dan masyarakat lokal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wisata bahari sekaligus mengedukasi warga terkait pentingnya konservasi laut dan bahaya penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Langkah ini menjadi bagian dari upaya menjaga kelestarian ekosistem sekaligus mendorong pengembangan ekonomi pesisir yang berkelanjutan. Inisiatif ini menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa mampu memberi dampak nyata pada isu-isu lingkungan di tingkat lokal.
Dalam ekspedisi tersebut, tim melakukan penyusuran dan pemetaan terhadap 33 gugusan pulau yang dikenal masyarakat dengan sebutan ‘Pulau Bertasbih’ karena jumlahnya menyerupai biji tasbih. Setiap pulau didokumentasikan untuk mencatat potensi wisata, mulai dari lokasi snorkeling dan diving, hingga pengembangan ekowisata berbasis edukasi ekosistem laut. Hasil pemetaan ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui pemetaan ini pula, mahasiswa dapat memberikan rekomendasi program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pesisir.
Namun, tim juga menemukan adanya kerusakan terumbu karang di beberapa titik akibat praktik destructive fishing, seperti pengeboman ikan. Meski frekuensi praktik tersebut mulai menurun dalam beberapa tahun terakhir, dampak kerusakannya masih terlihat jelas. Salah satu nelayan Desa Landonan Bebeau, Hariyanto, menuturkan perubahan kesadaran masyarakat. Kisah ini menggambarkan pergeseran pola pikir masyarakat menuju cara tangkap ikan yang lebih berkelanjutan. “Dulu banyak nelayan yang menggunakan bom karena hasilnya instan. Tapi sekarang kami mulai sadar dampaknya. Sekarang sudah banyak yang beralih ke cara tangkap yang lebih aman,” ungkapnya.
Upaya mencegah destructive fishing terus digalakkan oleh Blue Alliance Indonesia bersama warga dan aparat desa melalui patroli laut, sosialisasi, hingga penguatan kelompok konservasi lokal. Tantangan masih ada, mulai dari partisipasi warga yang belum merata hingga penegakan hukum yang belum maksimal. Karena itu sinergi dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan pelaku usaha menjadi penting untuk membangun kesadaran kolektif dan memperkuat perlindungan laut. Dengan adanya keterlibatan multi pihak, diharapkan terbentuk sistem perlindungan laut yang lebih kuat dan konsisten.
Selain patroli, kegiatan ekspedisi ini juga dilengkapi dengan pelatihan dan penyuluhan kepada warga terkait ekowisata, kesehatan laut, serta peluang ekonomi dari pengelolaan sumber daya laut yang bijak. Kegiatan ini juga menjadi sarana pertukaran pengetahuan antara mahasiswa, NGO, dan masyarakat lokal dalam membangun konsep desa pesisir berkelanjutan. Koordinator mahasiswa KKN-PPM UGM wilayah Banggai Kepulauan, Bernadio Axel Herdin Ernesto, menekankan pentingnya pengelolaan berkelanjutan. “Harapannya, potensi yang ada bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa merusak. Ini juga membuka peluang desa-desa di Buko Selatan dikenal lebih luas, dari sisi alam dan budaya,” ungkapnya.
Kolaborasi antara mahasiswa, Non-Governmental Organization, dan masyarakat dalam ekspedisi ini membuktikan bahwa pelestarian laut dapat berjalan seiring dengan pembangunan. Dengan pendekatan blue economy, kawasan Buko Selatan berpotensi menjadi model desa pesisir yang tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan warganya. Kegiatan ini sekaligus menunjukkan peran aktif mahasiswa UGM dalam mendorong solusi berkelanjutan bagi masyarakat pesisir. Jika dikelola dengan konsisten, program ini dapat menjadi referensi bagi daerah lain dalam mengembangkan pariwisata berbasis konservasi.
Reportase: Tim KKN-PPM Banggai Kepulauan
Penulis: Triya Andriyani