Desa Wisata Gamplong yang terletak di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, telah dikenal luas sebagai destinasi unggulan yang menawarkan berbagai keunikan budaya dan pengalaman. Banyak orang tahu tentang Studio Alam Gamplong, tetapi belum banyak yang potensi Wisata Gamplong yang menyimpan begitu banyak potensi dan keunikan, terutama melalui berbagai usaha kerajinan yang menghasilkan berbagai produk unik seperti tenun tradisional dengan motif khas yang mencerminkan keindahan budaya lokal, serta aksesoris dan dekorasi rumah yang dibuat secara kreatif dari bahan-bahan alami seperti rotan, bambu, pasir, dan serat alam.
Meski telah menjadi destinasi wisata yang cukup populer, Desa Wisata Gamplong masih menghadapi beberapa kendala dalam pengelolaannya, salah satunya adalah kurangnya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas. Ketidakadaan SOP ini menjadi hambatan dalam mengelola koordinasi antara pengelola desa, pengrajin, dan wisatawan. Sebagai bentuk dukungan untuk membantu Gamplong menjadi desa wisata yang lebih profesional, mahasiswa Program Studi Pariwisata FIB UGM menginisiasi forum diskusi penyusunan SOP dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pengelola desa, ketua divisi, dan anggota-anggota divisi. “Forum ini membahas beberapa poin utama, seperti standarisasi alur kunjungan wisatawan yang mencakup panduan dari proses reservasi hingga pengantaran wisatawan serta pengaturan waktu untuk aktivitas seperti belajar membuat kerajinan dan menikmati kuliner,” kata Mahasiswa prodi Pariwisata FIB UGM Franzeska Aurellia Oenang dalam keterangan yang dikirim ke wartawan, Senin (30/12).
Dalam diskusi bersama para ketua divisi di Desa Wisata Gamplong, kata Aurellia, terungkap beberapa permasalahan utama, seperti kurangnya panduan kerja yang jelas untuk masing-masing divisi dan ketidakjelasan pembagian tugas, terutama dalam menyambut wisatawan ketika jumlah kunjungan meningkat, sehingga sering terjadi kebingungan dalam pelaksanaannya.
Selain itu, pembagian tugas antar divisi juga menjadi fokus, dengan menetapkan tanggung jawab yang jelas bagi divisi homestay, guide, kuliner dan marketing serta memastikan alur komunikasi yang efektif untuk menghindari miskomunikasi. “Sistem monitoring dan evaluasi juga dibahas, termasuk penjadwalan evaluasi rutin untuk menilai efektivitas SOP dan memberikan ruang bagi masukan wisatawan guna meningkatkan kualitas layanan,” ungkapnya.
Yang tak kalah penting, imbuhnya, pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan juga menjadi perhatian, dengan penyusunan SOP untuk menjaga kebersihan desa wisata serta mendorong pengrajin menggunakan bahan ramah lingkungan dalam produknya. “Adanya SOP yang terstandarisasi, Desa Wisata Gamplong diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengelolaannya sehingga mampu memberikan pengalaman wisata yang lebih baik. Tidak hanya itu, SOP juga menjadi langkah penting dalam memastikan keberlanjutan desa wisata ini di masa depan,” katanya.
Bagi Aurellia, Gamplong memiliki potensi besar untuk terus berkembang sebagai destinasi wisata yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. “Dengan kolaborasi antara mahasiswa, pengelola, dan masyarakat lokal, desa ini akan semakin siap bersaing di kancah nasional maupun internasional,” jelasnya.
Penulis : Gusti Grehenson