Data WHO tahun 2019 menyebutkan sebanyak 18 juta orang hidup dengan rheumatoid arthritis (RA). Penyakit ini adalah jenis penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga penderita RA harus melakukan pengobatan dan penanganan jangka panjang. Penyakit autoimun inflamasi sistemik kronis ini, dapat mempengaruhi kualitas hidup, kehidupan sehari-hari, dan kegiatan sosial karena menyebabkan peradangan dan kerusakan struktur sendi dan tulang.
Peradangan ini seringkali menyebabkan nyeri, pembengkakan, dan kerusakan sendi secara permanen. RA sering kali tidak diketahui gejala dan penyebabnya, sehingga langkah diagnosisnya juga terkadang terlambat, dan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang penyakit RA dan memiliki akses minimum dalam mendapat diagnosis dini RA di fasilitas kesehatan.
Penemuan alat deteksi dini yang akurat, memungkinkan intervensi lebih awal, sehingga dapat memperlambat perkembangan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita RA. Tim mahasiswa UGM mengembangkan inovasi alat deteksi dini RA untuk menekan jumlah pasien RA setiap tahunnya melalui teknologi termografi inframerah untuk melihat persebaran suhu pada telapak tangan yang didukung dengan teknologi machine learning untuk meningkatkan keakuratan diagnosis.
Tim mahasiswa ini terdiri atas Awaliya Shabrina, mahasiswa Fakultas Teknik UGM bersama empat orang rekannya, yakni Laila Nur Rizqi Tasnimiyah, Javana Avita Prameswari, Amir Fren Afrizal, dan Muhammad Irfan dengan mendapat bimbingan dari Dr. Eng. Ir. Prapto Nugroho, S.T., M.Eng., IPM.
Awaliya Shabrina menjelaskan penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bila pemeriksaan RA masih menggunakan alat invasif dan besar. Karena itu, ia bersama tim berinisiatif merancang sebuah prototipe diagnosis RA yang bisa digunakan di mana saja dan kapan saja. “Terlambat mendiagnosis RA, katanya, dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup hingga kecacatan permanen. Salah satu penyebabnya dikarenakan diagnosis yang terlambat dan kurangnya pengetahuan dan informasi terkait penyakit ini,” katanya.
Lebih lanjut, Awaliya memaparkan prototipe tersebut diberi nama ReuMate yaitu sebuah alat pendeteksi dini rheumatoid arthritis menggunakan machine learning terintegrasi mobile app. Pengembangan prototipe deteksi dini RA yang bersifat non-invasive dan portabel dengan integrasi metode termografi inframerah dan machine learning ini diperlukan untuk meningkatkan akurasi deteksi kondisi RA pada telapak tangan, serta menyediakan akses informasi edukatif mengenai penanganan dan pencegahan penyakit tersebut. Selain itu alat ini juga dilengkapi dengan informasi edukasi terkait penanganan dan pencegahan penyakit RA yang dapat diakses dengan mudah.
“Perancangan prototipe ini bermanfaat untuk membantu pendeteksian sedini mungkin penyakit RA secara non invasive, memungkinkan penanganan cepat agar kondisi tidak semakin memburuk, monitoring penanganan dan edukasi untuk pasien RA melalui mobile app,” katanya.
Dengan inovasi ReuMate. Kata Awaliya, tidak hanya meningkatkan akses layanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil, tetapi juga berkontribusi signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dengan deteksi dini RA, ReuMate memungkinkan pengobatan yang lebih efektif, meningkatkan kualitas hidup penderita. “Adanya prototipe ini bisa digunakan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil karena alat ini mudah untuk dibawa,” jelasnya.
Penulis : Agung Nugroho