
Gunung Guha ditetapkan sebagai kawasan Bentang Alam Karst yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 17 Tahun 2012. Namun gunung karst yang terletak di Dusun Leuwidingding, Sukabumi, Jawa Barat ini, dalam satu satu dekade berdampingan dengan area tambang sehingga mengalami degradasi dan tingkat kerusakan karst yang cukup parah.
Belum lama ini, tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM melakukan riset lapangan pada 27 Agustus hingga 1 September lalu, menemukan bahwa luasan bukaan lahan terlihat secara nyata, area yang sebelumnya hutan dan tertutup vegetasi beragam pada 2014 kini berubah menjadi zona tambang aktif semenjak beroperasi sampai 2024. “Keprihatinan yang besar terhadap kondisi terkini dari kerusakan di karst Gunung Guha ini yang menjadi tujuan kita melakukan riset,” kata kata Tim PKM-RSH Karst Bersuara, Winas Hardi Havidin, Senin (13/10).
Dalam penelitian tingkat kerusakan karst Gunung Guha ini, Winas dibantu oleh anggota tim lainnya yakni Agustina Herawati, Anindya R Putri Alindita, Rachmanda Aquila Arkhano, dan Novia Layla Handi. Riset yang mengkaji tata kelola kawasan karst di Kawasan Sukabumi ini mendapat pendampingan dari dosen Fakultas Geografi UGM, Dr. Alia Fajarwati S.Si., M.IDEA.
Dalam mengkaji fenomena ini, Winas mengakui timnya menggunakan metode Participatory Action Research (PAR), metode riset yang mengedepankan pendekatan melalui masyarakat, dengan studi etnografi dari sudut pandang antropologi budaya. “Kita melakukan pelibatan aktif warga ini yang kemudian menggunakan kurang lebih 19 sampel dari masyarakat dan beberapa pihak yang terkait,” ujarnya.
Soal penolakan eksplorasi tambang di kawasan karst ini menurut Winas, warga sudah sering melakukan perlawanan sebagai bentuk penolakan, mulai dari mendatangi kantor dan diskusi dengan pemangku kepentingan, hingga melapor ke Polres Kabupaten Sukabumi. “Namun yang didapatkan masyarakat bukan perlindungan, melainkan sikap yang cenderung menekan warga untuk bungkam,” ujarnya.
Winas menyebutkan bahwa dirinya bersama tim telah memikirkan beberapa rancangan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Menurutnya, permasalahan yang terjadi tidak hanya menyangkut aktivitas pertambangan, tetapi juga bagaimana masyarakat di sekitar wilayah tambang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. “Untuk saat ini, solusi dan strategi yang kami rancang pertama adalah memberikan ruang keadilan kepada masyarakat,” jelas Winas.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya evaluasi dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, terhadap perizinan tambang yang ada di wilayah tersebut. Evaluasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas sesuai dengan izin yang berlaku, baik dari aspek teknis, lingkungan, maupun legalitas lainnya.
Lebih lanjut, Winas mengungkapkan bahwa masyarakat lokal belum banyak mendapatkan kesempatan kerja di area tambang. “Pekerjaan-pekerjaan di sana justru banyak diisi oleh warga luar desa terdampak sehingga masyarakat lokal belum benar-benar merasakan manfaat ekonomi dari adanya tambang,” tutupnya.
Sebagai lanjutan, Winas berharap para pemangku kebijakan belajar untuk lebih memperhatikan lagi keberlanjutan lingkungan serta dapat menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan yang lebih berkelanjutan, terlebih di kawasan karst Gunung Guha.
Ia mengungkapkan bahwa pengelolaan sumber daya alam seharusnya tidak hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memperhatikan keseimbangan ekologis dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Hal ini berkaitan dengan hubungannya sebagai bagian integral dari kawasan karst. “Karena seperti yang kita ketahui bahwa karst merupakan kawasan yang perlu dilindungi secara geologi. Sudah seharusnya menjadi kewajiban bersama untuk sama-sama melindunginya,” tutup Winas.
Wahyudin, perwakilan Walhi Jawa Barat, menuturkan kegiatan tambang ini memiliki izin SK di tahun 2021 oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan dalam pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tahun 2009. Namun, ia menganggap kawasan lindung seperti adanya Situ Cipiit, hingga gowa-gowa kecil terancam mengalami kerusakan. “Kita khawatir izin tambang bisa berdampak pada kerusakan yang lebih luas,” katanya.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Tim PKM