
Departemen Arkeologi dan Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada menyerahkan benda-benda budaya kepada masyarakat Warloka, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Senin (14/7) silam. Koleksi yang dikembalikan meliputi 40kilogram artefak hasil ekskavasi yang terbagi menjadi 15 kategori, termasuk perhiasan, alat bantu, keramik, gerabah, koin, serta sisa-sisa kerangka dari tiga individu leluhur. Benda-benda ini merupakan hasil penggalian yang dilakukan 15 tahun lalu yang selama ini disimpan di UGM untuk kebutuhan riset. Proses repatriasi ini menjadi langkah yang menegaskan pentingnya tanggung jawab etis dalam kegiatan akademik, termasuk refleksi atas posisi peneliti dan prinsip keadilan dalam berbagi pengetahuan dan manfaat riset.
Dr. Tular Sudarmadi selaku ketua tim repatriasi menyampaikan bahwa warisan budaya seharusnya tidak dikelola dengan pendekatan eksploitatif yang bersumber dari praktik kolonial. Ia menegaskan bahwa sebagai akademisi, penting untuk membangun relasi setara dengan komunitas yang menjadi subjek penelitian. Kini, UGM tengah merancang pedoman universitas untuk tata kelola benda hasil ekskavasi arkeologis, yang akan menjadi inisiatif pertama di Indonesia. “Saya merasa memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan benda-benda ini kepada Komunitas Warloka,” ujarnya, Rabu (16/7).
Dosen FIB lainnya, Dr. Rucitarahma Ristiawan, menambahkan bahwa pemulangan artefak kepada komunitas asal merupakan langkah penting menuju keadilan epistemik. Ia juga menekankan pentingnya pembagian manfaat hasil riset secara adil antara akademisi dan masyarakat. Pemulangan artefak bukan hanya tindakan simbolis, tetapi juga bentuk nyata dari transformasi praktik akademik. “Repatriasi ini mengakui nilai sistem pengetahuan lokal dan memperkuat hak komunitas untuk menarasikan sejarahnya sendiri,” terangnya.
Selain dibantu oleh mahasiswa pascasarjana Arkeologi UGM, Oto Alcianto, kegiatan ini turut melibatkan dukungan dari University of Glasgow melalui peneliti art crime dan kriminologi, Dr. Emiline Smith. Ia menyampaikan bahwa repatriasi ini menunjukkan perlunya refleksi atas tanggung jawab etik akademisi dan penguatan peran negara dalam tata kelola warisan budaya. Ia menambahkan bahwa proses pemulangan artefak harus dilengkapi dengan dukungan kelembagaan yang memungkinkan pelestarian dan penghormatan terhadap sisa leluhur. Dalam konteks ini, kolaborasi antarnegara menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan program repatriasi.
Sisa kerangka leluhur nantinya akan dimakamkan kembali sesuai dengan adat dan kepercayaan masyarakat Warloka. Di samping itu, artefak budaya akan disimpan sementara di Dinas Pariwisata setempat sambil menunggu pembangunan ruang pamer khusus di Warloka. Dinas Pariwisata dan komunitas turut menggunakan momentum tersebut untuk mengedukasi wisatawan tentang sejarah lokal serta pentingnya riset kolaboratif dalam pelestarian warisan budaya. Komunitas juga berkomitmen untuk meningkatkan perlindungan terhadap temuan arkeologis di kawasan tersebut. “Anggota keluarga kami akhirnya pulang setelah 15 tahun,” ungkap salah satu warga Warloka dengan haru.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Dok.Tim Peneliti